Home

TAFSIR JALALAIN 1 Jumadil Akhir 1437 H/ 20 Maret 2016

Rangkuman pengajian Ahad pagi Majlis Taklim Tafsir Jalalain Tempat : musholla Al-Muhajirin, Puri Harmoni 1 Tgl          : 11 jumadil ak...

Kamis, 04 Agustus 2016

MAJLIS TA'LIM TAFSIR JALALAIN KAJIAN ON LINE

 Ustadz Pathuri Mumthaza

  Rangkuman pengajian online
Rabu, 1 Dzul qodah 1437H/4Agistus 2016


Kitab Rujukan : At-Tadzhib Fii Adillatil Ghoyati wa Taqrib
Nara Sumber : Ust Fathuri A Mumthaza

Bismilahirrahmanirrahim...
Melanjutkan pembahasan tentang Istinja, At-Tadzhib, h. 16. Dijelaskan bahwa ada larangan-larangan saat melakukan buang air besar atau kecil
Adapun larangan itu antara lain:
Pertama, Tidak boleh menghadap kiblat saat buang air di tempat terbuka.
Kedua, dilarang buang air di air yang diam.
Ketiga, dilarang di bawah pohon berbuah, di jalan, dan tempat/pohon untuk bernaung.
Keempat, tidak boleh bicara. Keempat, tidak menghadap matahari dan bulan, atau membelakanginya.

Pertanyaan :

 1. Hukum buang air kecil sambil berdiri ada larangannya? 
 2. Untuk pembuatan wc(Toilet) di rumah atau di masjid apakah ada larangan untuk menghadap kiblat ?
 3. Hukum menjawab salam jika kita lagi berada dikamar mandi atau toilet.
 4. Hukum jika posisi toilet yang ada didalam rumah menghadap atau membelakangi kiblat.
 5.Bagaimana hukumnya kalaubuang air besar sambil merokok atau chating?

Jawaban :
Pertama, mengenai kencing sambil berdiri dari Ust Hilman. Di dalam kitab yang kita bahas ini, memang tidak disebutkan larangan kencing berdiri. Karena itu, hal yang sama juga, akan kita temukan di dalam kitab syarah atau penjelas dari kitab Taqrib (atau lengkapnya Matnul Ghayah wat Taqrib, matan At-Tadzhib). Makanya, misalnya di Fathul Qarib, h. 6, tidak disebutkan pula berkaitan dengan larangan kencing sambil berdiri
Sebaliknya, di dalam kitab fiqh yang bernuansa akhlak, keterangan perihal kencing sambil berdiri ini akan ditemukan. Contohnya Bidayatul Hidayah (Al-Ghazali), h. 13, disebutkan, "Dan janganlah kencing sambil berdiri, kecuali karena darurat." Dan menarik, di dalam syarahnya, Maraqiyul 'Ubudiyyah dijelaskan bahwa kencing sambil berdiri itu, hukumnya makruh. Lebih jauh dijelaskan bahwa dalam beberapa hadist disebutkan Nabi pernah kencing sambil berdiri. Di dalam hal ini ulama kemudian menjelaskan bahwa, ada tiga kemungkinan. Pertama, Nabi melakukannya karena sedang sakit. Kedua, sudah tradisi Arab jika tulang punggung sakit, maka mereka kencing sambil berdiri. Ketiga, tidak ada tempat yang memungkinkan kencing dengan duduk (Maraqiyul 'Ubudiyyah, An-Nawawi Al-Bantani, h. 13)
Redaksi yang berbeda juga bisa kita temukan di dalam kitab fiqh yang bernuansa akhlak, di antaranya Minhajuth Thalibin wa Umdatul Muftin, karya Imam Muhyiddin Abu Zakariya, atau yang kita kenal dengan Imam Nawawi. Di sini (h. 71) hanya disebutkan singkat, wa ya'tamidu jaalisan yasaarahu, dan menopang duduk di atas kaki kirinya. Keterangan ini disebutkan setelah menguraikan akhlak di dalam beristinja' yang lain, yaitu dianjurkan masuk WC dengan kaki kiri, keluar dengan kaki kanan, dan tidak membawa asma Allah.
Karena, mengulang keterangan di dalam Maraqiyul 'Ubudiyah, kencing sambil berdiri hukumnya makruh.
Atau lebih detail lagi, bisa dilihat juga di dalam Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, juz 2, h. 99 berdasarkan beberapa hadist riwayat Ibnu Umar dll, maka ada tiga pendapat. Pertama, imam Nawawi sendiri dan ulama Syafii mengatakan, bahwa kencing berdiri itu makruh, dan kemakruhannya masuk kategori makruh tanzih (makruh yang mendekati haram). Kedua, Imam Malik mengatakan, jika kencing berdiri membuat air menyebar ke mana-mana, maka makruh hukumnya, sedangkan jika tidak, maka tidak dimakruhkan. Ketiga, Ibnu Mundzir mengatakan, kencing sambil duduk itu paling dicintai atau disukai, sedangkan sambil berdiri dibolehkan.
Karena itu, berdasarkan beberapa keterangan ini, maka kencing berdiri sebaiknya dihindari. Kecuali memang jika toiletnya berdiri seperti di hotel-hotel atau tempat umum lainnya. Dipertimbangkan pula keamanan air kencing agar tidak menyebar ke mana-mana. Sebab, penelitian membuktikan, pantulan saat lelaki kencing itu 100 persen berbaliknya, sehingga jika tidak hati-hati, maka akan menyebarkan najis ke mana-mana
Pertama, hadist riwayat Ibnu Majah dan AL-Baihaqi dari Umar ra, ia berkata: Rasululullah mendatangiku saat aku kencing sambil berdiri, maka Nabi bersabda, wahai Umar janganlah kencing sambil berdiri. Maka sejak saat itu aku tidak pernah kencing sambil berdiri.
Hadist ini dinilai dha'if atau lemah. Kedua,  hadist dari Ibnu Majah dan Al-Baihaqi juga, yaitu Nabi melarang seorang laki-laki kencing sambil bediri. Hadist ini pun dinilai lemah. Ketiga, hadist riwayat Ahmad, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dll, dari Aisyah ra, "Barangsiapa menceritakan kepada kalian bahwa Nabi  buang air kecil dengan berdiri maka janganlah kalian percayai, karena beliau tidaklah buang air kecil kecuali dengan duduk." Hadist ini dinilai hasan.
Keempat, Hadist riwayat Bukhari Muslim, bahwa suatu ketika Nabi mendatangi WC suatu kaum dan kencing sambil berdiri. Hadist ini dinilai shahih...
Beberapa hadist inilah yang oleh ulama di-istinbath-i sehingga menguraikan ketiga pendapat di atas...

Pertanyaan kedua, dari Ust Didi, Pak Djunaidi dan H Darsono, kebetulan sangat berkaitan.
Di dalam penjelasan singkat di awal, bahwa larangan menghadap atau membelakangi kiblat adalah bagi yang buang air di tempat terbuka. Misalnya di padang pasir, di lapangan, di sungai, atau yang lainnya. Berbeda halnya dengan buang hajat di dalam bangunan seperti toilet yang biasa kita miliki. Hal ini tidak terkena larangan dimaksud.
Hal ini bisa dilihat di Fathul Qarib, h. 6, yang menegaskan bahwa dikecualikan dari laranagn itu adalah buang hajat di bangunan yang dibuat khusus untuk itu. Karena itu buang hajat di WC tidak ada larangan secara mutlak menghadap atau membelakangi kiblat. Adapun dalilnya, disebutkan di At-Tadzhib h. 20 & Bidayatul Mujtahhid, juz 1, h. 188, bahwa Abdullah bin Umar naik ke atas rumah adiknya, Hafshah, dan ia melihat Rasulullah sedang duduk di atas dua bata untuk buang air besar dalam posisi menghadap ke Syam dan membelakangi kiblat (HR Bukhari Muslim)

Melanjutkan pertanyaan berikutnya, yaitu dari Pak Dede, sekaligus menguraikan perihal larangan "Bicara saat buang hajat"
Dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, Juz 34, h. 10, yang perlu dipahami bersama bahwa buang air atau qada'il hajah atau buang hajat adalah sebuah perbuatan yang harus ditutupi dan disembunyikan, karena saat itu kita sedang membuang kotoran dan membuka aurat kita, serta kondisi kita yang tidak suci. Karena itu, bicara adalah sesuatu yang dilarang untuk dilakukan, meski ulama sendiri kemudian merinci apa saja yang tidak diizinkan..Satu, larangan bicara ini, baik bicara biasa, maupun membaca Al-Qur'an, tasbih/dzikir, atau menjawab salam. Khusus untuk salam, sebagaimana yang ditanyakan ada beberapa hadist yang menunjukan laranan soal ini, di mana Nabi pernah diuluki salam, padahal beliau sedang buang hajat dan beliau tidak membalasnya.


Kitab Al-Mausuah Al-FiQhiyah

Kedua, pengecualian untuk menjawab adzan, menurut madzhab Hambali, termasuk juga Ibnu Taimiyah membolehkan untuk menjawab adzan bagi yang sedang buang hajat
Ketiga, jika yang buang hajat bersin, tetap disunnahkan untuk mengucapkan alhamdulillah. Dalilnya adalah atsar bahwa Nabi selalu menyebut asma Allah sepanjang hidupnya (HR Muslim, Al-Mausu'ah, juz 34, h. 11)
Keempat, dibolehkan bicara ketika kondisi darurat. Misalnya melihat ular atau ada musibah lain, atau hal-hal darurat lainnya. Mungkin bagi kita, di antaranya, tiba-tiba air kran mati, tidak ada air, maka bolehlah ia berteriak untuk diambilkan air.
Sebagai pungkasan jawaban pertanyaan ini, bagaimana jika ada salam? Maka jawablah dengan dehem atau batuk-batuk saja, sehingga yang menyampaikan salam menjadi paham bahwa kita sedang buang hajat. Karena itulah, Maliki, Syafi, Hambali, bahkan Hanafi melarang uluk salam pada orang yang sedang buang hajat, karena akan menyulitkan orang yang disalami untuk menjawabnya (AL-Mausu'ah, juz 34, h. 11).

Sebelum menguraikan perihal ini, izinkan lebih dulu kita meneliti lebih luas, apa saja yang dilarang saat buang hajat. Selain yang telah disebutkan di atas, larangan yang lain adalah menghadap ke arah angin yang bertiup (karena akan membuat kotoran menyebar ke mana-mana), menghadap atau membelakangi Baitul Maqdis, membawa mushaf atau tulisan nama-nama mulia (Allah dan para Nabi), buang hajat di kuburan (sebab mayit pun merasa tersakiti, mendapat perlakuan yang sama saat ia hidup), dan buang hajat di dalam masjid atau tempat ibadah agama lain. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 34, h. 11-18).
Menilik dari keterangan di atas, rokok dan chating tidak termasuk larangan, yang disebutkan oleh ulama terdahulu. Dan memang, dua kegiatan ini biasanya tidak menimbulkan suara, sehingga tidak termasuk melanggar larangan bicara.
Namun demikian, hal-hal demikian bisa saja terlarang, jika kegiatan-kegiatan dimaksud melanggar larangan yang umum telah disebutkan. Untuk chating, di antaranya, chatingnya adalah soal ghibah dengan orang lain, mengadu domba, dan menyebar kebohongan. Chating seperti ini terlarang, meski tidak berkaitan langsung dengan buang hajatnya...
Kemudian perihal merokok. Ini juga perlu kita cermati bersama. Keterangan soal rokok cukup lengkap bisa dibaca dalam kitab Irsyadul Ikhwan fi Bayani Hukmi Syurbil Qahwah Wad Dukhan (Kiai Ihsan Jampes Kediri). Di sini dijelaskan tiga pendapat kelompok ulama yang mengharamkan, menghalalkan, dan memakruhkan rokok...

 jika menilik argumen ulama bahwa merokok itu haram, ada empat hal. Pertama, merokok itu merusak kesehatan. Kedua, rokok itu memabukkan. Ketiga, bau rokok mengganggu orang lain. Keempat, merokok adalah pemborosan (Irsyadul Ikhwan, h. 9-10). Di sini, berkaitan dengan buang hajat sambil merokok, pengalaman membuktikan bahwa, WC yang digunakan buang hajat sambil merokok, baunya sangat mengganggu bagi yang menggunakan setelahnya. Karena itulah, terlepas dari halal/haramnya rokok, sudah seharusnya buang hajat sambil merokok dihindari, karena sangat mengganggu orang yang menggunakan setelahnya...Untuk kloset menghadap kiblat, sesuai penjelasan sebelumnya, tidak masalah jika ada di dalam bangunan atau toilet, bukan di ruang terbuka seperti di gurun, padang pasir atau semacamnya yang tak tertutupi. Karena itu, tidak masalah kloset menghadap ke mana saja, karena ia berada di dalam bangunan toilet, sehingga terhindar dari larangan menghadap kiblat...
 Selanjutnya saya tutup. Terima kasih kepada Majlis Asatidz, terutama Ust. Fathuri.
 Semoga pengajian ini bermanfaat untuk kita semua.

Subhanakallahumma wa bihamdika asyhadu an laailaaha illa anta, astagfiruka wa atuubu ilaika. Wassalamualaikum wr. wb.