Home

TAFSIR JALALAIN 1 Jumadil Akhir 1437 H/ 20 Maret 2016

Rangkuman pengajian Ahad pagi Majlis Taklim Tafsir Jalalain Tempat : musholla Al-Muhajirin, Puri Harmoni 1 Tgl          : 11 jumadil ak...

Senin, 19 September 2016

ADAB-ADAB DI DALAM MEMBACA AL-QUR'AN


Ustadz Fathuri Ahza Mumthaza


Ada satu bait syair yang sering dibacakan, yang saat ini dikenal dengan judul Tombo Ati, gubahan dari Kiai Bisri Mustofa Rembang, ayahanda dari Gus Mus alias Kiai Musthofa Bisri yang sudah kita kenal. Dan jika ditelusuri syair ini sesungguhnya adalah maqalah dari Ibrahim Al-Khawash (wafat 291 H), yang mengatakan bahwa obat hati itu ada lima, yaitu
•    membaca Al-Qur’an,
•    Merenungkan makna Al-Quran,
•    Perut kosong, qiyamul-lail,
•    Berdoa dengan tawadlu’ di saat malam, dan
•    Berkumpul dengan orang-orang shalih.
(At-Tibyan, h. 86)                      

Tetapi membaca Al-Qur’an yang langsung memberi manfaat membutuhkan syarat-syarat, baik lahir maupun batin. Di antara yang perlu diperhatikan adalah adab atau tata karma di dalam membacanya. Di sini kami kutipkan sedikit saja dari kitab At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, karya Abu Zakariya An-Nawawi.

ADAB ADAB MEMBACA AL-QURAN
1. Tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan selain bahasa Arab,
Hal ini berlaku baik ia mampu berbahasa Arab dengan baik atau tidak, baik di dalam sembahyang ataupun di luar sembahyang. Jika dia membaca Al-Qur’an dalam sembahyang dengan selain bahasa Arab, maka sembahyangnya tidak sah. Hal yang sama saat membaca Yasin atau dalam peristiwa-peristiwa lain, haram hukumnya membaca Al-Qur’an dengan teks Indonesia, yang biasanya dibubuhkan di bawah tulisan Arabnya. Jika belum bisa membaca Al-Qur’an dengan bahasa Arab, maka wajib hukumnya ia untuk belajar hingga mahir sesuai aturan tajwidnya.                        
2. Para ulama telah menganjurkan agar memulai majlis hadith Nabi saw atau majelis-majelis ilmu yang lain dan mengkhatamkannya dengan bacaan sebahagian ayat-ayat Al-Qur’an oleh pembaca yang bagus suaranya.
Kemudian, pembaca di tempat-tempat ini, hendaklah membaca ayat-ayat yang sesuai dengan majlisnya. Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang jamak kita lihat. Saat peringatan maulid Nabi, Isra Mi'raj dll, maka pembaca Al-Qur'an dengan suaranya yang merdu akan menjadi pembuka yang menyejukkan dan menenangkan siapapun yang mendengarnya. Jika menilik apa yang terjadi setiap Ahad pagi, hal ini sungguh kebiasaan yang luar biasa, di mana para ustadz berganti-ganti membaca Al-Qur’an dan didengar segenap jama’ah. Karena itu dengarkanlah dengan baik saat dibacakan Al-Qur’an oleh para ustadz-ustadz kita itu.                        
3. Membaca satu surat yang pendek secara lengkap lebih baik daripada membaca sebagian surat panjang atau membaca beberapa ayat saja dari sebuah surat.
Contoh membaca 6 ayat saja dari Al-Baqarah, atau 7 ayat dari Ali Imran, meski panjang, tetapi itu tidak dianggap afdhal. Hal ini misalnya dalam shalat, karena kadang-kadang orang tidak tahu ayat tersebut, apalagi menghafalnya. Paling parah jika ada kesalahan, tidak ada yang bisa meluruskannya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari Abdullah bin Abul Huzail ra. seorang tabi’in terkenal, katanya: “Mereka tidak suka membaca sebagian ayat dan meninggalkan sebagiannya.”                        
4. Disunnahkan membaca Al-Qur’an menurut tertib Mushaf.
Maka ketika dia baca Al-Fatihah, kemudian Al-Baqarah, kemudian Ali-Imran, kemudian surah-surah sesudahnya menurut tertibnya, sama saja dia membaca dalam shalat atau di luarnya. Salah seorang sahabat kami mengatakan: “Jika dia membaca pada rakaat pertama surah Qul 'Audzu bi rabbin Naas, maka dia baca ayat sesudah Al-Fatihah dari surah Al-Baqarah.” Atau di raka’at pertama membaca Adh-Dhuha, maka surat sesudahnya yang dibaca Al-Insyiraah atau At-Tin, jangan dibalik dengan membaca surat-surat sebelum Adh-Dhuha seperti Al-Lail atau Al-Fajr.
Salah seoang sahabat kami berkata: Disunahkan jika membaca suatu surat agar membaca surat berikutnya. Dalil ini ialah bahwa tertib Mushaf dijadikan demikian karena mengandung suatu hikmah. Misalnya dalam dua rakaat shalat maghrib, pada rakaat pertama membaca surah Qulyaa ayyuhal kaafiruun dan rakaat kedua membaca Qul huwAllah hu Ahad. Dan tiga rakaat sembahyang witir, pada rakaat pertama, membaca surah Al-A’laa dan pada rakaat kedua membaca surah Qul yaa ayyuhal Kaafiruun dan pada rakaat ketiga membaca, Qul Huwallahu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain.
Sekiranya tidak berturutan dengan membaca surat yang bukan surat berikutnya atau menyalahi tertib dan membaca suatu surat, kemudian membaca surat sebelumnya, hal itu diharuskan. Banyak atsar diriwayatkan berkenaan dengan perkara tersebut. Umar Ibnul Khattab ra. telah membaca surah Al-Kahfi pada rakaat pertama sembahyang Subuh dan surah Yusuf pada rakaat kedua. Bagaimanapun, sejumlah ulama tidak menyukai jika menyalahi tertib Mushaf.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Al-Hasan, bahawa dia tidak suka membaca Al-Qur’an kecuali menurut tertibnya dalam Mushaf. Dan dia meriwayatkan dengan isnadnya yang shahih dari Abdullah bin Mas’ud ra
bahawa dikatakan kepadanya: “Si fulan membaca Al-Qur’an terbalik, bagaimana pendapatmu?” Abdullah menjawab: “Orang itu terbalik hatinya.”
Sementara membaca surah mulai dari akhir hingga awalnya, dilarang dengan tegas. Karena perbuatan itu menghilangkan kemukjizatan dan hikmah dari tertibnya ayat-ayat. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari
Ibrahim An-Nakha’I seorang imam tabi’in yang mulia dan Imam Malik bin Anas bahawa keduanya tidak menyukai hal itu. Malik mencela perbuatan itu dan berkata: “Ini dosa besar.”                        

KONDISI-KONDISI DIMAKRUHKANNYA MEMBACA AL-QURAN
Kemudian, ada kondisi-kondisi yang dimakruhkan membaca Al-Qur'an. Di sini, meskipun membaca Al-Qur’an disunahkan secara mutlak, tetapi ada keadaan tertentu yang tidak dianjurkan membaca Al-Qur'an. Di antaranya adalah :
1.  Makruh membaca Al-Qur’an dalam keadaan rukuk, sujud, dan tasyahud serta keadaan-keadaan shalat lainnya, kecuali jika berdiri.
2. Makruh membaca Al-Fatihah dengan suara keras bagi makmum dalam keadaan sembahyang yang dikeraskan bacaannya jika dia mendengar bacaan imam.
3. Makruh pula membacanya dalam keadaan duduk di tempat buang hajat dan dalam keadaan mengantuk.
4. Makruh membacanya jika menemui kesukaran.
5. Makruh hukumnya membaca Al-Qur’an bagi orang yang sedang mendengarkan khutbah.                        

Demikianlah beberapa adab dalam membaca Al-Qur'an, wallahu a'lam bish-shawaab...

Kitab Rujukan     :

AT-TIBYAN FI ADABI HAMALATIL QUR'AN

Karya        :
 Imam Abu Zakaria An-Nawawi