Rangkuman Pengajian Online.
Rabu, 27 Rajb 1437 H/4 Mei 2016
Kitab rujukan :Attadzhib fi adillati wa taqrib.
Nara Sumber : Ustadz Fathuri Mumthaza
Rabu, 27 Rajb 1437 H/4 Mei 2016
Kitab rujukan :Attadzhib fi adillati wa taqrib.
Nara Sumber : Ustadz Fathuri Mumthaza
Ustadz Fathuri Mumthaza
Perihal puasa.
Syarat wajib puasa ada tiga (atau dalam teks yang lain disebut ada empat), yaitu :
Pertama. Islam,
Baligh dan Berakal,serta mampu melaksanakan puasa.
Adapun dasar perintah wajibnya puasa, sebagaimana kita tahu adalah surat Al-Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Sedikit diulas perihal ayat ini, dan ini juga sering disampaikan oleh para ustadz dan kiai, bahwa perintah puasa itu telah berlaku pula pada umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad SAW. Hanya berbeda dari sisi teknis pelaksanaan dan waktunya. Bahkan jika kita menilik pendapat Mujahid (salah satu tabi'in), puasa yang diwajibkan pada umat2 sebelum kita itu adalah puasa di bulan Romadlon (Tafsir Al-Qurtubi, juz 3, h. 124). Tetapi ada keterangan lain, misalnya dari Asy-Sya'by, Qatadah dll, yang menegaskan bahwa umat yang diwajibkan puasa di bulan Romadlon sesungguhnya adalah Umat Nabi Musa dan Isa. Namun pada umat Nasrani ditambahkan oleh para rahib mereka total menjadi 50 hari. Demikian pula Nabi Adam juga telah melaksanakan puasa pada hari-hari putih (Ayyamal biidh), yaitu tgl 13, 14, 15 setiap bulan. Nabi Nuh puasa setiap hari (Syaumudhar), kecuali hari pada Idul Fitri dan Idul Adha. Selain itu umat Nabi Musa juga puasa pada hari 'Asyura, Nabi Daud puasa dengan sehari puasa dan sehari tidak (Puasa Daud) dan seterusnya. Artinya memang fakta sejarah semua umat memiliki kewajiban puasa sesuai dengan syariat Nabinya masing-masing.
Untuk umat Nabi Muhammad sendiri, sesungguhnya kewajiban puasa berjalan bertahap. Puasa Ramadhan adalah puncak dan ketetapan akhir, yang ditetapkan setelah 18 bulan hijrah, atau pada bulan Sya'ban tahun kedua hijriyah.
Bagaimana sebelum itu? Apakah sudah ada kewajiban puasa? Tentu ada. Yang mula-mula diwajibkan puasa adalah sebagaimana puasanya nabi Adam, yaitu puasa Ayyamal biidh (Tafsir Ibnu Katsir, juz 1, h. 497). Puasa ini juga dikatakan puasanya setiap umat, yang turun temurun dari Nabi Adam AS.
Mengapa disebut Ayyamil bidh? Ada satu pendapat, misalnya di Fathul Bari, juz 4, h. 226, mengatakan bahwa, disebut hari putih karena pada saat itu bulan bersinar terang hingga tampak putih. Tetapi ada satu kisah, disebutkan dalam kitab Fadhlu Syahri Ramadhan, h. 4, yaitu tatkala Nabi Adam baru diturunkan dari surga ke bumi, ia mengalami kekagetan fisik, yaitu kulitnya yang asalnya putih bersih menjadi hitam disengat panasnya matahari. Tentu kita tahu iklim di surga berbeda dengan di bumi. Kalau di bumi saat siang begitu terik, malam lumayan dingin. Sedangkan di surga selalu sejuk laksana pagi hari. Karena itulah kulit adam menjadi hitam. Melihat ini Jibril kemudian bertanya pada Adam. Wahai Adam, maukah kulit tubuhmu menjadi putih kembali? "Iya," jawab Adam. "Puasalah pada setiap tanggal 13, 14, dan 15." Sejak saat itu Adam berpuasa. Pada hari pertama, kulit Adam putih sepertiga, hari kedua juga demikian, dan hari ketiga menjadi putih semuanya seperti sediakala.
Perihal syarat pertama, muslim.
Tentu saja ini sangat jelas dengan nida' atau panggilan yang digunakan dalam ayat yang mewajibkan puasa, bahwa hanya muslim saja yang diwajibkan untuk berpuasa. Sedangkan orang kafir ashli (kafir sejak lahir), maka ia tidak dikenai kewajiban ini. Berbeda halnya jika seseorang muslim, lalu kemudian ia murtad, maka kewajibannya tetap mengikuti, dan dosa terus dicatatkan kepadanya. Karena itu, jika ia kembali masuk Islam. maka wajib hukumnya untuk mengulang atau mengqadla puasa yang ditinggalkan selama ia murtad. Di sini ulama sepakat dengan hal yang demikian (Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzzdab, juz 6, h. 253)
Kedua, Berakal dan Baligh.
Ini juga termasuk indikasi seorang mukallaf yang sudah dikenai berbagai kewajiban agama. Karena itu bagi orang yang gila, orang yang hilang kesadaran, ini termasuk yang mengalami ayan, epilepsi, koma, dst, anak kecil, tidak dikenai kewajiban untuk puasa. Dan tidak ada pula kewajiban mengqadlanya tatkala sembuh dari gila, atau sadar dari ayan atau komanya. (Al-Majmu' Syarah Al-Muadzdzab, juz 6, h. 255-256)
Ketiga, Mampu menjalankan puasa.
Sebagaimana kita tahu, puasa di awal zaman Nabi tidak sama seperti sekarang ini. Sebab syariat sahur ditetapkan belakangan. Makanya puasa para sahabat awal lebih berat, sebelum tidur malam boleh makan, minum dan berhubungan suami istri, tapi setelah itu terlarang. Sebelum ditetapkan puasa Ramadhan juga umat Islam waktu itu dibebaskan memilih antara puasa dan tidak, meski dia masih muda dan kuat. Bagi yang tidak puasa, ia diwajibkan memberi makan orang miskin sesuai jumlah yang ditetapkan. Namun, kemudian hal ini di-naskh dasarnya dengan ayat berikutnya, yaitu Al-Baqarah 184, bahwa kwajiban puasa tidak ada tawar menawar, kecuali bagi kakek-nenek yang terang memang sudah tidak kuat fisiknya, di mana mereka boleh tidak puasa tetapi tetap berkewajiban memberi makan orang miskin. Atau karena musafir, sakit yang berat, atau karena hiadh dan nifas. Ini adalah pengecualian.
Q.S Albaqoroh:184
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya :
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Subhanakallahumma wa bihamdika asyhadu an laa ilaha illa anta astagfiruka wa atubu ilaik.
Wassalamualaikum wr. Wb.