Home

TAFSIR JALALAIN 1 Jumadil Akhir 1437 H/ 20 Maret 2016

Rangkuman pengajian Ahad pagi Majlis Taklim Tafsir Jalalain Tempat : musholla Al-Muhajirin, Puri Harmoni 1 Tgl          : 11 jumadil ak...

Jumat, 18 Agustus 2017

SUNNAH HAI-AT DIDALAM SHALAT (2)

LANJUTAN...
OLEH USTADZ FATHURY AHZA MUMTHAZA




Sunnah Kelima,
menjaharkan (mengeraskan) bacaan pada tempatnya dan merendahkan suara (isror) pada tempatnya,
Sebagaimana kita tahu, mengeraskan bacaan seperti yang kita praktekkan adalah pada: shalat shubuh, dua raka’at awal shalat Maghrib dan Isya, shalat Jum’at, shalat dua hari raya, shalat gerhana bulan, shalat istisqo’, shalat tarawih, shalat witir di malam Romadlon, dan shalat thowaf di malam hari atau waktu shubuh.(At-Tadzhib, h. (56)

Dan dengan suara pertengahan atau tidak keras dan tidak isror untuk shalat mutlak di malam hari sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kamu keraskan atau kamu isrorkan dalam shalatmu, tetapi usahakanlah tengah-tengah di antara keduanya” (al Isra: 110), yang dimaksudkan adalah shalat malam. Dan shalat yang selain tersebut di atas di-isrorkan bacaannya.

Dalil yang menunjukkan demikian adalah hadits riwayat Bukhari (735) dan Muslim (463), dari Jubair bin Math’am ra. ia berkata: Saya mendengar Nabi saw. membaca di dalam shalat Maghrib surat at Thur.

Hadits riwayat Bukhari (733) dan Muslim (463), dari al Barro’ ra. ia berkata: Saya mendengar Nabi saw. membaca:  "والتين والزيتون" dalam shalat Isya, dan saya tidak mendengar seorangpun yang lebih baik dibanding suara beliau, atau bacaan beliau.

Dan hadits riwayat Bukhari (739) dan Muslim (449), dari Ibnu Abbas ra. tentang kehadliran jin dan usaha jin mendengarkan al Qur’an dari Nabi saw. di dalamnya, beliau sedang dalam shalat bersama para sahabat yakni shalat shubuh, ketika mereka (jin) mendengar al Qur’an, mereka memasang telinga terhadap bacaan beliau. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa beliau menjaharkan bacaan beliau sampai dapat didengar oleh yang hadir.

Dasar memelankan bacaan.Dan dalil yang menyatakan bacaan isror (suara rendah) adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (713) dari Khubab ra. ada seorang penanya: Apakah Rasulullah saw. membaca sesuatu ketika shalat dhuhur atau ashar? Ia menjawab: Ya. Kami bertanya: Dengan apa kalian mengetahui yang demikian itu? Ia menjawab: Dengan bergerak-geraknya jenggot beliau. 

Sunnah Keenam, mengucapkan “aamiin”,
Dasar dari membaca amin adalah Hadits riwayat Abu Dawud (934), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. apabila membaca:  "غير المغضوب عليهم ولا الضآلين" beliau mengucapkan: Aamiin, sampai didengar orang yang di belakang beliau dari shof pertama. Ibnu Majah menambahkan (853): Maka bergemalah masjid karenanya.

Dalam membaca amin disunahkan membacanya berbarengan dengan imam.

Diriwayatkan dari Abi Hurairoh ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Apabila imam membaca:  "غير المغضوب عليهم ولا الضآلين" maka ucapkanlah aamiin. Sseungguhnya barang barang siapa yang bertepatan dengan ucapan para malaikat, maka diampuni baginya dosanya yang telah lampau”. (HR Bukhari-Muslim).

Di dalam satu riwayat dari Abu Dawud (936): “Apabila imam mengucapkan aamiin, maka ucapkanlah aamiin..”.

Cara Membaca Amin

Ada beberapa dialek di dalam membaca amin.

Pertama, dengan memanjangkan hamzah dan tidak mentasydidkan mim. Ini mengikuti wazan faa’iil atau ketika kita membaca yaasiin. Karena itu dibaca آمِيْن

Kedua, dengan memendekkan hamzah dan tidak mentasydidkan mim. Ini seperti membaca lafadz yamiin. Karena itu dibaca أَمِيْن

Kedua bacaan ini sangat masyhur dan shahih (Tafsir Al-Qurtubi, juz 1, h. 197)

Ketiga dan keempat, yaitu bacaan dengan model kesatu dan kedua, tetapi membaca mim-nya diimalahkan, atau dimiringkan.

Kelima, yaitu bacaan dengan memanjangkan hamzah dan mentasydidkan mim. Bacaan terakhir ini ikhtilaf di antara ulama, ada yang membolehkan, ada yang tidak. (Tafsir Ibnu Katsir, h. 75 dan Al-Adzkar, h. 123). Sedangkan bacaan pertama hingga keempat dibolehkan, tetapi yang terpilih dan paling utama adalah bacaan pertama. 

Aturan Membaca Amin.
Ada beberapa dialek di dalam membaca amin.

Pertama, dengan memanjangkan hamzah dan tidak mentasydidkan mim. Ini mengikuti wazan faa’iil atau ketika kita membaca yaasiin. Karena itu dibaca آمِيْن

Kedua, dengan memendekkan hamzah dan tidak mentasydidkan mim. Ini seperti membaca lafadz yamiin. Karena itu dibaca أَمِيْن

Kedua bacaan ini sangat masyhur dan shahih (Tafsir Al-Qurtubi, juz 1, h. 197)
Ketiga dan keempat, yaitu bacaan dengan model kesatu dan kedua, tetapi membaca mim-nya diimalahkan, atau dimiringkan. Kelima, yaitu bacaan dengan memanjangkan hamzah dan mentasydidkan mim. Bacaan terakhir ini ikhtilaf di antara ulama, ada yang membolehkan, ada yang tidak. (Tafsir Ibnu Katsir, h. 75 dan Al-Adzkar, h. 123). Sedangkan bacaan pertama hingga keempat dibolehkan, tetapi yang terpilih dan paling utama adalah bacaan pertama. 
Dibaca Keras atau Pelan?

Madzhab Syafi’I dan Hambali sepakat bahwa membaca amin dikeraskan dalam shalat-shalat yang jahr atau mengeraskan bacaan, dan memelankan membaca amin pada shalat-shalat yang dibaca pelan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Sunnah yang Kelima.(Al-Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah, juz 1, h. 226). 
Sementara Madzhab Hanafi menegaskan bahwa membaca amin adalah dengan pelan, tidak boleh keras. Sebab amin adalah doa, dan disebutkan dalam Al-A’raf ayat 55 doa dilakukan dengan pelan. (Tafsir Al-Qurtubi, juz 1, h. 200)Madzhab Maliki memilih bahwa yang dianjurkan mengeraskan bacaan amin adalah bagi ma’mum dan orang yang shalat sendirian (munfarid), baik itu dalam shalat yang jahr maupun yang sir/asrar. Sementara imam sendiri hanya dianjurkan saat shalat yang sir/asrar saja. Pada shalat yang jahr, maka tidak perlu membaca amin.
Makna amin
Dalam beberapa riwayat dan tafsir ulama, paling tidak ada tiga makna amin. Pertama, sesuai pengertian yang diberikan oleh Rasulullah ketika ditanya oleh Ibnu Abbas terkait makna amin, beliau menjelaskan,  رب افعل maksudnya, Ya Tuhan, lakukanlah.

Kedua, makna amin, menurut mayoritas ahli ilmu adalah اللهم استجب لنا artinya, ya Allah kabulkanlah doa kami. Ketiga, menurut imam Tirmidzi, makna amin adalah  لا خيب رجاءنا yang artinya, jangan putuskan harapan kami. (Tafsir Al-Qurtubi, juz 1, h. 197)

Dari makna-makna ini kemudian dijelaskan bahwa amin sesungguhnya memiliki makna yang dalam. Di antaranya adalah bahwa, “Lafadz amin memiliki empat huruf. Dari setiap huruf itu Allah menciptakan empat malaikat, yang akan memintakan ampun bagi yang membacanya.” (Tafsir Al-Qurtubi, juz 1, h. 196, Al-Iqna, juz 1, h. 321). 
Dikatakan Abu Bakar menegaskan, amin adalah cap atau stempel Allah bagi hambanya, yang dengannya tertolak segenap bencana dan kerusakan. Atau dalam riwayat lain disebutkan, “Amin memiliki derajat di surga.” Maksudnya bahwa setiap hurufnya mengangkat derajat orang yang mengucapkan amin nanti di surga.Karena itulah, dari makna-makna ini maka sesungguhnya membaca amin dibutuhkan kekhusyu'an dan kesungguhan hati kita masing-masing dalam membacanya. Sebab ia doa. Ia juga adalah stempel Allah. Ia juga mampu mengangkat derajat orang yang membacanya. Ia juga harapan, agar segenap doa yang dipanjatkan dikabulkan oleh Allah SWT.

Sunnah  ketujuh adalah membaca surat al Qur’an sesudah al fatihah. Ini dibaca pada dua rakaat yang awal.

Di antara dasar dari sunnah ini adalah hadits riwayat Bukhari (745) dan Muslim (451), dari Abi Qotadah ra. bahwasanya Nabi saw. membaca  al Fatihah dan surat besertanya pada dua raka’at yang awal dari shalat Dhuhur dan Ashar. (At-Tadzhib, h. 60)

Adab membaca Surat dalam Shalat
Sebagaimana telah diajarkan oleh ulama, dalam membaca surat dalam shalat, maka dianjurkan urut sesuai letak surat. Misalnya ketika dalam raka’at Pertama membaca Adh-Dhuha, maka bacallah al-insyirah atau surat sesudahnya. Jangan pada rakaat Kedua membaca surat Al-A’la atau surat-surat yang letaknya sebelum adh-Dhuha. (At-Tibyan fi Adabi hamatil Qur’an, h. 95)
Hal ini berdasarkan bahwa peletakan urutan surat adalah tauqifi dari Allah SWT, karena itu selayaknya kita menjaga urut-urutan itu dalam membacanya. Tidak dibolak-balik semaunya. Sebab, dikatakan, ada hikmah di balik urut-urutan itu.Ibnu Mas’ud ketika ditanya, bagaimana ketika ada orang membaca Al-Qur’an dengan urutan terbalik? Ibnu Mas’ud menjawab, “Orang itu terbalik hatinya.” (At-Tibyan, h. 95).Di sisi lain, sesungguhnya dalam shalat, yang paling utama adalah membaca satu surat utuh dibanding membaca beberapa ayat meski panjang. Demikian pula, dianjurkan agar raka’at Pertama lebih panjang surat yang dibaca dibanding raka’at yang Kedua.
Dalam penjelasannya, Imam Nawawi menyebutkan, “Sunah membaca dalam shalat Subuh pada hari Jumaat sesudah Al-Fatihah pada rakaat pertama surat Alif Lam Mim Tanziil selengkapnya. Dan pada rakaat kedua membaca surat Al-Ihsan selengkapnya.”

Sunah membaca dalam shalat Jumat pada rakaat pertama surat Al-Jumu’ah selengkapnya dan pada rakaat kedua surat Al-Munafiquun selengkapnya juga. Jika dia menghendaki, bisa membaca surat Al-A’laa pada rakaat pertama dan membaca Surat Al-Ghaasyiyah pada rakaat kedua. Keduanya adalah riwayat yang sahih dari rasulullah saw.

Sunah dalam shalat Hari Raya membaca Surat Qaaf pada rakaat pertama dan membaca surat Iqtabatis Saa’atu selengkapnya pada rakaat kedua. Jika mau, dia bisa membaca surat Al-A’laa dan Al-Ghaasyiyah. Kedua riwayat itu sahih dari Rasulullah saw

Dibaca dalam dua rakaat shalat sunah Fajar sesudah Al-Fatihah yang pertama Qul Yaa Ayyuhal kaafiruun dan pada rakaat kedua Qul HuwAllahu Ahad. Keduanya sahih dari perbuatan Rasulullah saw.

Dalam shalat sunah Maghrib rakaat pertama, membaca Qul yaa ayyuhal kaafiruun dan
rakaat kedua Qul huwAllahu Ahad. Dan keduanya juga dibaca dalam dua rakaat Thawaf dan dua rakaat Istikharah.

Dan dalam shalat witir tiga rakaat, rakaat pertama membaca Sabbihisma rabbikal a’laa dan rakaat kedua Qul Yaa Ayyuhal kaafiruun serta rakaat ketiga Qul Huwallahu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain.

BERSAMBUNG...