Home

TAFSIR JALALAIN 1 Jumadil Akhir 1437 H/ 20 Maret 2016

Rangkuman pengajian Ahad pagi Majlis Taklim Tafsir Jalalain Tempat : musholla Al-Muhajirin, Puri Harmoni 1 Tgl          : 11 jumadil ak...

Jumat, 29 April 2016

MUTIARA HATI CONTOH TAWADHU'



Sebuah Kisah nyata tentang Seorang Marbot Masjid Atta’awun di Puncak Bogor yg bisa kita ambil hikmahnya.


Masjid Atta'awun Puncak Pass Bogor
Cerita yang mengisahkan dua orang sahabat yang terpisah cukup lama; Ahmad dan Zaenal. Ahmad pintar sekali dan Cerdas. Tapi dikisahkan kurang beruntung secara ekonomi.

Sedangkan Zaenal adalah orang yang biasa-biasa saja. Namun keadaan orang tuanya lah yang mendukung karir serta masa depan Zaenal...

Setelah terpisah cukup lama..., keduanya bertemu. Bertemu di tempat yang istimewa; di tempat wudhu, koridor toilet di sebuah masjid megah dengan arsitektur yang cantik serta memiliki view pegunungan dengan kebun teh yang terhampar hijau di bawahnya.



Siapa yang tidak tahu, bagi yang biasa ke Puncak Jawa Barat, Mesjid tersebut adalah mesjid At-Ta’awun yang tepat berada di "Puncak Pass", Cisarua, Bogor.

Adalah Zaenal, sudah menjelma menjadi seorang manager kelas menengah. Necis. Perlente. Tapi tetap menjaga kesholehannya...

Ia punya kebiasaan, setiap kali ke luar kota, ia pasti sempatkan singgah di masjid di kota yang ia singgahi. Untuk memperbaharui wudhu serta bersujud syukur. Terlebih lagi apabila masih ada waktu untuk melakukan sholat sunnah, maka ia sholat sunnah terlebih dahulu...

Seperti biasa, ia tiba di Puncak Pass, Bogor. Ia mencari masjid.
Dipinggirkan mobilnya kemudian bergegas masuk ke masjid...

Di Masjid itulah ia menemukan teman lamanya, Ahmad. Ia amat kaget. Ia tahu sahabatnya ini meskipun berasal dari keluarga tidak punya tetapi pandai...

Zaenal tidaklah menyangka bila berpuluh tahun kemudian ia baru bertemu Ahmad, dan sebagai "marbot" masjid pula...!

“Maaf”, katanya menegor sang marbot. “Kamu ini Ahmad khan ? Ahmad kawan SMP saya dulu ?”.

Lalu orang yang ditegor pun tak kalah mengenali. Lalu keduanya berpelukan, lalu Ahmad berucap
“Keren sekali kamu skrg ya mas". Zaenal ini terlihat masih dalam keadaan memakai dasi. Lengan kemeja yang digulungnya untuk persiapan wudhu, menyebabkan jam tangan bermerknya terlihat oleh Ahmad. “Ah, biasa saja…”, kata Zaenal.

Zaenal pun merasa iba, Ahmad dilihatnya sedang memegang kain pel, khas seorang marbot. Celananya digulung, dan pecinya didongakkan sehingga jidatnya yang lebar terlihat dengan jelas...

“Mad... Ini kartu nama saya.....”.

Ahmad melihat, “Wah, Manager Area..., bener-bener keren !”.

“Mad, nanti habis saya sholat..., kita ngobrol-ngobrol ya...? Maaf, kalau kamu berminat, di kantor saya ada pekerjaan yang lebih baik dari hanya sekedar marbot di masjid ini. Maaf ya...Mad”.

Ahmad tersenyum, mengangguk. “Terima kasih ya mas zaenal... nanti kita ngobrol... Selesaikan saja dulu sholatmu. Saya juga masih mau bersih-bersih ini dulu... Silahkan ya... yang nyaman...”.

Sambil ia berwudhu, Zaenal tak habis pikir. Mengapa Ahmad yang pintar, kemudian harus terlempar dari kehidupan yang normal. Ya, meskipun tidak ada yang salah sama sekali dengan pekerjaannya sebagai marbot,  pikirnya tidak masuk akal...

Zaenal menyesalkan kondisi dari negerinya ini yang tidak berpihak kepada orang-orang tertentu yang sebenarnya memiliki talenta dan kecerdasan, namun miskin...

Air wudhu membasahi wajahnya.

Sekali lagi... Zaenal pun melewati Ahmad yang sedang bekerja bersih-bersih. Andai saja Ahmad mengerjakan pekerjaannya ini di perkantoran, maka sebutannya bukan marbot, melainkan “office boy...”, pikirnya.

Tanpa Zaenal sadari, ada orang yang sholat juga di belakangnya. Setelah ia selesai melakukan sholatnya Zaenal sempat melirik. “Barangkali orang ini kawannya Ahmad juga...”, gumamnya.
Zaenal menyelesaikan do'anya secara singkat. Ia ingin segera bisa ngobrol dengan Ahmad untuk membantunya agar lebih terhormat dan baik pekerjaannya dari sekedar marbot.

“Pak...”, tiba2 anak muda yg tadi sholat di belakangnya menegur.

“Iya Mas...”

“Pak.., Bapak memangnya kenal dengan Bapak Insinyur Haji Ahmad…?”

“Insinyur Haji Ahmad…?”

“Ya, insinyur Haji Ahmad…”

“Insinyur H. Ahmad yg mana ?”

“Itu, yang barusan tadi ngobrol sama Bapak...".

“Oh… Ahmad… Iya. Kenal. Kawan saya dulu sewaktu kami di SMP. Memangnya sudah haji dia...???”.

“Dari dulu juga sudah haji Pak. Dari sebelum beliau bangun masjid ini..., pak !”.

Kalimatnya itu begitu amat datar, tetapi cukup menampar hatinya Zaenal. Dari dulu juga sudah haji... Dari sebelum beliau bangun masjid ini...?

Anak muda yang berbicara ini lalu menambahkan, “Pak Ahmad orang hebat Pak. Dia Tawadhu’... Saya lah yang marbot asli masjid ini. Saya karyawannya beliau. Beliau yang bangun masjid ini Pak. Di atas tanah wakafnya sendiri... Beliau biayai sendiri untuk pembangunan masjid indah ini, sebagai masjid transit bagi mereka yang mau shalat. Bapak lihat hotel indah yang di sebelah sana...? Itu semua milik beliau… Tetapi beliau lebih suka untuk menghabiskan waktunya di sini. Bahkan salah satu kesukaannya, sangat aneh, yaitu beliau suka menggantikan posisi saya ini... Karena suara saya bagus..., jadi kadang-kadang saya disuruh mengaji saja dan adzan di masjid ini...”.

Zaenal tertegun, entah apa yang ada di hati dan di pikiran Zaenal pada saat itu... Subhanallah !

Ada pelajaran berharga dari kisah pertemuan Zaenal dan Ahmad...

Jika Ahmad itu adalah kita maka mungkin saja begitu bertemu kawan lama yang sedang melihat kita membersihkan toilet, segera kita beritahukan posisi kita yang sebenarnya agar tidak salah sangka...

Dan jika kemudian kawan lama kita ini menyangka kita seorang marbot masjid, maka kita akan menyangkal, serta kemudian menjelaskan secara detail apa yang sudah kita lakukan bahwa begini dan begitulah Sehingga kawan kita menjadi tahu bahwa kita inilah pewakaf dan pendiri masjid ini.

Tapi kita bukanlah Haji Ahmad Dan Haji Ahmad bukannya kita. Semoga Haji Ahmad selamat dari riya' dan rusaknya nilai amalnya, sebab ia tetap tawadhu' dan tidak malu dengan penilaian manusia...

Haji Ahmad merasa tidak perlu menjelaskan apa-apa tapi Kemudian “Allah Azza Wa Jalla”  yang memberitahukan siapa dia yang sebenarnya...

Al-mukhlishu..., man yaktumu hasanaatihi... kamaa yaktumu sayyi-aatihi...

(Orang-orang yang ikhlas itu adalah orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya, seperti menyembunyikan keburukan-keburukan dirinya).

[Ya’qub Rahimahullah, dalam kitab Tazkiyatun Nafs].                     Tetap semangat meski dalam kesederhanaan

Semoga menjadi renungan yang bermanfaat &  semua senantiasa dalam bimbingan serta lindungan “Allah Azza Wa Jalla” selamat dunia`akhirat."
Aamiin Ya ROBBAL Alamiin
“Allahumma Solli Wa Sallim ala Sayyidina Muhammad” Indahnya berbagi`

Kisah ini dikutip dari postingan Whats App bapak Wiyono.


Kamis, 28 April 2016

PERIHAL ISTINJA

Bismillahirrahmaanirrahiim..
RANGKUMAN PENGAJIAN ONLINE
Waktu : Rabu, 20 Rajab 1437 H/27 April 2016
Kitab Rujukan : ATTADZHIB FII ADILLATIL GHOOYATI WATAQRIB   
Tempat : Majlis Ta’lim Virtual “Tafsir Jalalain”
Nara sumber : Ustadzuna fathuri Ahza Mumtaza

Ustadz Fathuri Ahza Mumthaza


Dalam Kitab  ATTADZHIB FII ADILLATIL GHOOYATI WATAQRIB 
 Fasal keempat dari Bab Thaharah, yaitu perihal istinja. 
Istinja' atau membersihkan najis setelah buang air kecil (kencing) dan buang air besar itu hukumnya wajib. Paling utama di dalam istinja adalah menggunakan batu lalu diikuti dengan air. Boleh juga hanya dengan air atau tiga buah batu yang dapat digunakan untuk membersihkan tempat najis di qubul (kemaluan) atau dubur. Tetapi jika ingin mencukupkan hanya dengan salah satunya, maka yang lebih utama adalah dengan air.
Dalil tentang istinja' menggunakan air adalah hadist riwayat Bukhari Muslim dari Anas bin Malik, "Ketika Nabi SAW mau buang hajat, aku dan anak sebaya denganku membawa seember air, dan Nabi beristinja dengan air itu. Demikian pula dasar menggunakan 3 batu adalah hadist riwayat Bukhari dari Ibnu Mas'ud, bahwa Nabi masuk tempat buang hajat dan memerintahkanku untuk membawa tiga buah batu. Inilah beberapa dasar alat-alat yang digunakan untuk buang hajat
Di dalam penjelasannya, istinja ini adalah bagian dari membersihkan tiga tempat yang wajib disucikan, yaitu badan, pakaian, dan tempat sujud/shalat/ibadah. Di sini jelas bahwa instinja masuk pada yang pertama, yaitu badan. Kedudukannya sama dengan wudlu, bedanya wudlu mensucikan dari hadast, sedangkan instinja dari kencing dan BAB. (Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 176). Di sini menggunakan batu lalu diikuti dengan air lebih utama adalah bertujuan agar tangan tidak langsung bersentuhan dengan najis, baik itu air kencing atau kotoran kita. Karena itu, jika menggunakan air, yang utama adalah air dialirkan lebih dulu ke kotoran hingga ia terlepas, baru tangan dibasuhkan sebagai penyelesaian akhir. Jadi semprotan air khusus untuk toilet sesungguhnya, lebih utama digunakan dibanding gayung, karena ia mampu membersihkan kotoran lebih dulu, tinggal basuhan tangan untuk menyempurnakan saja
Perihal batu dan air. Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa membersihkan najis, jika meneliti pendapat Syafi'i dan Maliki, maka dikatakan semua najis dibersihkan dengan air, selain itu tidak bisa, kecuali istinja', yang dibolehkan dengan batu. Sedangkan bagi Hanafi dan ini juga sebagian Syafii, semua benda suci, baik cair maupun padat, dapat digunakan untuk membersihkan najis. Dan jika melihat prakteknya di Indonesia dan banyak tempat lebih mengikuti pendapat, yang membolehkan bahkan benda selain batu dan air (Untuk sekarang banyak dengan tisu) untuk membersihkan najis. Hanya saja, perlu dihindari untuk menggunakan benda-benda yang dapat dimakan seperti roti kering atau benda yang berharga, misalnya emas atau berlian, atau benda yang dimuliakan misalnya buku atau kertas berisi hadist atau fiqh, atau benda najis seperti kotoran kering.
Keterangan ini bisa dilihat di Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 178, Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 90-91. Benda-benda yang bisa menyucikan ini sifatnya bukanlah pengganti air, tetapi predikatnya sama, yaitu meski ada air bisa langsung digunakan. Tetapi syaratnya sebagaimana dijelaskan di atas, plus bahwa benda itu tidak basah, misalnya tisu basah atau tanah liat, itu tidak bisa. Atau licin, sehingga kotorannya tidak bs diambil sempurna, misalnya batu yang sudah dipoles halus.
Namun demikian, menggunakan air oleh ulama dikatakan lebih utama di dalam bersuci, sebab sifat air yang dapat mengikis habis kotoran, berbeda dengan benda padat yang masih memungkinkan menyisakan kotoran, meski dimaafkan kalau toh terjadi hal yang demikian. Kalau toh menggunakan batu atau benda lainnya, maka teknisnya adalah peganglah dengan tangan kiri lalu meletakkan benda tersebut di atas qubul atau dubur, lalu digosokkan secara berlawanan. Atau jika bisa adalah dengan memutarnya. Dan hindarkan hanya menggunakan satu saja, maksudnya kalau menggunakan batu adalah dengan tiga batu. Bahkan jika dirasa masih ada kotoran yang melekat, maka dianjurkan untuk melanjutkan dengan keempat, kelima dan seterusnya sehingga yakin benar akan kebersihannya. Usai melakukan ini semua, cucilah tangan untuk membersihkan kotoran yang mungkin menempel di tangan kita (Ihya Ulumiddin, juz 2, h. 13-14)
Di dalam fiqh, ada beberapa istilah, yaitu istinja', ini istilah umum untuk membersihkan kotoran dari dua lubang. Ada juga istithabah, yang arti pasnya di dalam bahasa kita adalah kelegaan, karena telah terbebas dari kotoran. Khusus untuk istijmar, ulama menjelaskan bahwa ia berasal dari kata jimaar, atau kerikil. Maksudnya adalah bebersih dengan menggunakan batu, dan dikatakan, istijmar ini harus dengan batu berbilang, yaitu tiga. Keterangan ini bisa dilihat di Al-Fiqh ala Madzahibil 'Arba'ah juz 1, h. 82
Mungkin perihal batu ini bagi kita tidak terlalu urgen. Tetapi bagi yang ada di perjalanan, di pengungsian, di tempat-tempat terpencil, di mana akses air susah, maka ketentuan ini biasanya akan berlaku. Karena itu istilah istijmar diperluas menjadi bersuci dengan benda selain air, termasuk di antaranya daun, pecahan genteng, batu bata yang tidak dipakai, kertas, kayu, dst. Di sini daun dikecualikan boleh digunakan, selama ia suci dan tidak basah. Yang dilarang, yaitu menggunakan tulang.
Pertanyaan 1 :
Bagaimana meyakinkan bahwa beristijmarnya telah sempurna, terutama setelah, maaf, BAB? Apakah cukup dengan bilangan batunya, atau harus benar benar hilang rasa, warna dan baunya...?
Jawaban 1 :
Memang beda bersuci dengan air, kalau dengan benda-benda lain finishingnya berbeda. Karena sebagaimana disampaikan di atas, kelebihan air, sebagaimana dikatakan Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, meski dia madzhab Maliki, tetapi di sini condong ke Syafi'i, bahkan memberikan argumen yang sebelumnya tidak disampaikan oleh Syaf'i, yaitu bahwa kelebihan air adalah ia bisa mengikis habis kotoran sebersih-bersihnya. Nah, berbeda dengan batu atau tisu, ada kemungkinan tersisa kotoran, karena sifat benda-benda ini tidak menyebar ke semua bagian hingga terkecil dan tersulit sebagaimana air. Ia terbatas pada sejauh mana kita menekan benda ini tatkala bersuci. Karena itu kemudian batasannya adalah hissiyah atau indrawi, main perasaan mudahnya. Artinya, kita gunakan batu itu hingga yakin sudah bersih, jika tiga kali kurang, tambah 4 dst, diusahakan ganjil. Kalau masih ada yang tertinggal, maka itu dimaafkan12:45
Pertanyaan 2 :
Bagaimana memandikan jenajah wanita yang sedang haid :
Sedikit menyambung pertanyaan dari Haji Darsono, perihal memperlakukan jenazah. Sebetulnya detailnya itu ada pada saat training memandikan jenazah, dan ini banyak masjid yang menyelenggrakan. Bahwa bagi yang memandikan jenazah tidak disyaratkan suci, atau wudlu dulu, bahkan waktu itu ia haidh, misalnya, itu juga dibolehkan. Tetapi memang disunnahkan setelah memandikan mayit untuk mandi, membersihkan badan kita dan mensucikan diri kita sendiri. Ini nanti detailnya pada saat kita membahas ini. Kedua, kalau mayitnya dalam kondisi haidh, maka memandikannya juga sama dengan mayit yang lain, kecuali keluar darah, maka dibersihkan.

  Demikian pengajian online minggu ini.
  Kami ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya, penghargaanyang setingi tingginya kepada     majlis asatidz, terutama ust. Fathuri.
  kami tutup, subhanakallahumma wabihamdika asyhadu an lailaaha illa anta astagfiruka wa atubu   ilaik...
  wassalamualaikum wr. wb.

Baca juga :   DARI MANA MENGENAL ALLOH
                    PERBANYAKLAH SUJUD DENGAN SHOLAT

Rabu, 27 April 2016

DARI MANA MENGENAL ALLOH

Sebuah kisah yang disampaikan oleh Habib Taufiq Bin Abdul Qodir Assegaf dalam tausiahnya pada acara haul Imamain  Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih dan Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bilfaqih di pondok Pesantren Daarul Hadits Malang Jawa Timur


Pernah suatu ketika Habib Ahmad bin Hasan Alatthas berkunjung ke satu daerah yang disana kebanyakan penghuninya anti ziarah kubur, tawassul, mendoakan orang mati ,dll.

Kebetulan beliau hadir pada saat sholat jum'at, ketika khotib melihat kehadiran seseorang yang gerak geriknya menunjukkan keluhuran, lalu khotib meminta beliau untuk menjadi imam sholat jum'at.

Ketika beliau menjadi imam, bacaan Qur'annya begitu menyihir jamaah hingga jamaah pun tidak puas apabila beliau hanya menjadi imam namun beliau setelah sholat diminta lagi untuk memberikan nasehat.

Sebelum memberikan nasehat, beliau mengatakan ; "saya ingin bertanya tapi anda jangan marah...".

Mereka menjawab "silahkan, kami tidak akan marah..."

Beliau kemudian bertanya ; "Siapa Tuhanmu ?"

Suasanapun menjadi ricuh karena pertanyaan beliau. Namun mereka akhirnya menjawab ; "Tuhan kami Allah."

Kemudian beliau bertanya lagi ; "Siapa Nabimu?"

Mereka menjawab ; "Nabi kami adalah Nabi Muhammad."

Kemudian beliau melanjutkan lagi ; " Kalau begitu darimana kamu mengenal Allah dan Nabi Muhammad ?"

Mereka lalu bingung. Habib Ahmad akhirnya menjawab ; "Kalian mengenal Allah dan Nabi Muhammad bukan lewat wahyu, akan tetapi lewat guru. Apa salahnya kalau kita berziarah ke makam guru kita, mendoakannya dan menyebut namanya."

Mereka hanya terdiam tanpa bisa menjawab.

Semoga kisah singkat ini bisa mengembalikan hatinya kaum muslimin untuk mengikuti ajaran kaum sholihin.

Kisah dikutip dari postingan Whats App Bapak Chaerul MTTJ



Amiin Yaa Robbal 'Alamin.

PERBANYAKLAH SUJUD DENGAN SHOLAT

Dikutip dari postingan Whats App bapak Didi Sunardi

Perbanyaklah sujud (dengan shalat) namun jagalah wajahmu supaya tetap tampak TAMPAN dan HINDARKAN munculnya tanda hitam di dahi atau jidatmu karena dikhawatirkan timbul Riya'....

Abdullah bin Umar bin Khattab RA. salah seorang shahabat terkemuka membenci adanya bekas hitam di dahi seorang muslim.

عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟

Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ.

Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699).

عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ : رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ.

Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik”(Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700).

عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا.

Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).

عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ الْخُشُوعُ.

Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari ATSARIS SUJUUD (bekas sujud)’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapalen’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapalen’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702).

Bahkan dalam kitab Hasiyah as-Showi,


وليس المراد به ما بصنعه بعض الجهلة المرائين من العلامة في الجبهة فانه من فعل الخوارج وفي الحديث اني لابغض الرجل واكرهه اذا رايت بين عينيه اثر السجود

“Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan TUKANG RIYA’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah)” dalam sebuah hadits disebutkan sungguh saya benci seseorang yang saya lihat diantara kedua matanya terdapat bekas sujud (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr).

Senin, 25 April 2016

MAJLIS TA'LIM TAFSIR JALALAIN DI MASJID DARUSSALAAM HARVEST CITY



Ahad, 17 Rajab 1437 H/24 April 2016
Tempat : Masjid Darussalam, cluster Bromilio, Harvest city.

KH Slamet Azis Zein

TAFSIR JALALAIN:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلَّا إِفْكٌ افْتَرَاهُ وَأَعَانَهُ عَلَيْهِ قَوْمٌ آخَرُونَ فَقَدْ جَاؤُوا ظُلْماً وَزُوراً 

وقال الذين كفروا إن هذا» ما القرآن «إلا إفك» كذب «افتراه» محمد «وأعانه عليه
قوم آخرون» وهم من أهل الكتاب قال تعالى «فقد جاؤوا ظلما وزورا» كفرا وكذبا أي بهما 
(Dan orang-orang kafir berkata, "Sesungguhnya ini) Alquran ini (tidak lain hanyalah kebohongan-kebohongan) yakni kedustaan (yang diada-adakan olehnya) oleh Muhammad sendiri (dan dia dibantu oleh kaum yang lain) yakni oleh sebagian dari orang-orang ahli kitab. Allah berfirman: (Maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kelaliman dan dusta yang besar") yakni kekafiran dan kedustaan.

وَقَالُوا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلَى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً 
«وقالوا» أيضا هو «أساطير الأولين» أكاذيبهم جمع أسطورة بالضم «اكتتبها»
 انتسخها من ذلك القوم بغيره «فهي تملى» تقرأ «عليه» ليحفظها «بكرة وأصيلا» غدوة وعشية قال تعالى ردا عليهم                                     

(Dan mereka berkata,) pula bahwa Alquran itu ("Dongengan-dongengan orang-orang dahulu) yakni kedustaan-kedustaan mereka. Lafal Asaathiir adalah bentuk jamak dari lafal Usthuurah (dimintanya supaya dituliskan) telah menukilnya dari kaum tersebut melalui orang lain (maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya) supaya ia hafal (setiap pagi dan petang.") Kemudian Allah berfirman menyanggah ucapan mereka:          

    قُلْ أَنزَلَهُ الَّذِي يَعْلَمُ السِّرَّ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً
       قل أنزله الذي يعلم السر» الغيب «في السماوات والأرض إنه كان غفورا» للمؤمنين
 «رحيما» بهم 
(Katakanlah! Alquran itu diturunkan oleh Allah yang mengetahui rahasia) hal hal yang gaib (di langit dan di bumi sesungguhnya Ia adalah maha pengampun) kepada orang orang yang beriman (maha penyayang) kepada mereka.

Masjid Darussalaam Harvesy City

Point point penting.
Sebagai ummat islam, kita hrus memuliakan Alquran. Kita meyakini dengan sepenuh hati mengenai keotentikan Alquran. Nabi Muhammad, adalah sorang ummi, tidak pandai membaca dan menulis. Melalui malaikat jibril kemudian ayat demi ayat Alquran diwahyukan kepadanya. Sesunghuhnya Allah lah yang menurunkan Alquran ini, bahkan Allah juga yang akan menjaganya.
kalau ada orang yang berbuat jahat kepadamu, berbuat baiklah kepadanya, insya Allah dririmu akan mendapatkan derajat yang tinggi.
Jadilah orang baik, jika tidak bisa jadi orang baik, janganlah jadi orang jahat.

MUKHTARUL AHADITS

اصنع المعروف الى من هو اهله ،والى غير اهله. فان اصبت اهله اصبت اهله. وانلم تصب اهله كنت انت اهله. 
(رواه الخطيب عن ابن عمر)
Berbuatlah kebaikan kepada ahlinya, dan kepada bukan ahlinya. Jika engkau berbuat baik kepada ahlinya, maka engkau telah berbuat baik kepada hlinya. Jika engkau berbuat baik kepada bukan ahlinya, maka jadilah engkau ahli kebaikan itu.
(Diriwayatkan oleh Alhotib dari Ibnu Umar).

Ustadz. Inayatulloh.
Kondisi ummat islam saat ini, jauh dari Alquran.
Kita harus merasa rugi jika satu hari saja tidak tilawah Alquran.
jika suatu jamaah berkumpul, kemudian didalamnya dibacakan, dipelajari Alquran, maka akan diberikan kepada mereka perasaan sakinah.
mari kita hidupkan Alquran melalui:
      - Menghapal Alquran
      - Tilawah Alquran
      - Tadabur Alquran

Dari kiri Ust Nurwahid.Ust H. Maulana dan KH.Slamet Azis Zein

Akan datang di akhir zaman kepada umat islam dimana islam hanya tinggal nama saja dan Alquran hanya tinggal bentuk tulisannya saja.
Untuk itu mulai dari kita masing masing mari kita hidupkan kembali alquran. Diantaranya melalui majlis majlis taklim seperti majlis taklim tafsir Jalalain.
Hati hati dengan propaganda non muslim dengan menggunakan atribut atribut yang seolah olah atribut islam. Seperti baju dg tulisan arab yang ternyata tulisan persaksian kepada tuhan bapak...

Ustadz Fathuri Mumthaza.

Bacaan Alquran itu harus mampu menggetarkan jiwa dan menambah keimanan. 
Nabi sering meminta sahabtanya untuk membacakan Alquran kepada beliau. 
Diantaranya Nabi pernah meminta Abu Musa Al-Asary untuk membacakan Alquran dihadapan beliau, Nabi pun menyimak dan memuji suara Abu Musa bagaikan suara seruling nabi Daud.
Nabi juga pernah meminta Ibnu Masud untuk bertilawah dihadapan beliau dan subhanallah, Nabi meneteskan air mata menangis mendengarnya. 
Bayangkan seorang yang menerima wahyu, menangis ketika mendengar orang lain membacakan Alquran kepadanya.
Apakah kita sudah demikian? 
Hati bergetar, imanpun bertambah ketika membacakan atau mendengarkan Alquran...??

Baca Juga: Sejarah Terbitnya Buku Habis Gelap Terbitlah Terang Karangan RA Kartini
                 Fardlu Wudlu
                 Fardlu Wudlu (2)
                 Pahlawan-Pahlawan dari Pondok Pesantren
                 K-R-I-T-I-K