Home

TAFSIR JALALAIN 1 Jumadil Akhir 1437 H/ 20 Maret 2016

Rangkuman pengajian Ahad pagi Majlis Taklim Tafsir Jalalain Tempat : musholla Al-Muhajirin, Puri Harmoni 1 Tgl          : 11 jumadil ak...

Kamis, 28 April 2016

PERIHAL ISTINJA

Bismillahirrahmaanirrahiim..
RANGKUMAN PENGAJIAN ONLINE
Waktu : Rabu, 20 Rajab 1437 H/27 April 2016
Kitab Rujukan : ATTADZHIB FII ADILLATIL GHOOYATI WATAQRIB   
Tempat : Majlis Ta’lim Virtual “Tafsir Jalalain”
Nara sumber : Ustadzuna fathuri Ahza Mumtaza

Ustadz Fathuri Ahza Mumthaza


Dalam Kitab  ATTADZHIB FII ADILLATIL GHOOYATI WATAQRIB 
 Fasal keempat dari Bab Thaharah, yaitu perihal istinja. 
Istinja' atau membersihkan najis setelah buang air kecil (kencing) dan buang air besar itu hukumnya wajib. Paling utama di dalam istinja adalah menggunakan batu lalu diikuti dengan air. Boleh juga hanya dengan air atau tiga buah batu yang dapat digunakan untuk membersihkan tempat najis di qubul (kemaluan) atau dubur. Tetapi jika ingin mencukupkan hanya dengan salah satunya, maka yang lebih utama adalah dengan air.
Dalil tentang istinja' menggunakan air adalah hadist riwayat Bukhari Muslim dari Anas bin Malik, "Ketika Nabi SAW mau buang hajat, aku dan anak sebaya denganku membawa seember air, dan Nabi beristinja dengan air itu. Demikian pula dasar menggunakan 3 batu adalah hadist riwayat Bukhari dari Ibnu Mas'ud, bahwa Nabi masuk tempat buang hajat dan memerintahkanku untuk membawa tiga buah batu. Inilah beberapa dasar alat-alat yang digunakan untuk buang hajat
Di dalam penjelasannya, istinja ini adalah bagian dari membersihkan tiga tempat yang wajib disucikan, yaitu badan, pakaian, dan tempat sujud/shalat/ibadah. Di sini jelas bahwa instinja masuk pada yang pertama, yaitu badan. Kedudukannya sama dengan wudlu, bedanya wudlu mensucikan dari hadast, sedangkan instinja dari kencing dan BAB. (Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 176). Di sini menggunakan batu lalu diikuti dengan air lebih utama adalah bertujuan agar tangan tidak langsung bersentuhan dengan najis, baik itu air kencing atau kotoran kita. Karena itu, jika menggunakan air, yang utama adalah air dialirkan lebih dulu ke kotoran hingga ia terlepas, baru tangan dibasuhkan sebagai penyelesaian akhir. Jadi semprotan air khusus untuk toilet sesungguhnya, lebih utama digunakan dibanding gayung, karena ia mampu membersihkan kotoran lebih dulu, tinggal basuhan tangan untuk menyempurnakan saja
Perihal batu dan air. Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa membersihkan najis, jika meneliti pendapat Syafi'i dan Maliki, maka dikatakan semua najis dibersihkan dengan air, selain itu tidak bisa, kecuali istinja', yang dibolehkan dengan batu. Sedangkan bagi Hanafi dan ini juga sebagian Syafii, semua benda suci, baik cair maupun padat, dapat digunakan untuk membersihkan najis. Dan jika melihat prakteknya di Indonesia dan banyak tempat lebih mengikuti pendapat, yang membolehkan bahkan benda selain batu dan air (Untuk sekarang banyak dengan tisu) untuk membersihkan najis. Hanya saja, perlu dihindari untuk menggunakan benda-benda yang dapat dimakan seperti roti kering atau benda yang berharga, misalnya emas atau berlian, atau benda yang dimuliakan misalnya buku atau kertas berisi hadist atau fiqh, atau benda najis seperti kotoran kering.
Keterangan ini bisa dilihat di Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 178, Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 90-91. Benda-benda yang bisa menyucikan ini sifatnya bukanlah pengganti air, tetapi predikatnya sama, yaitu meski ada air bisa langsung digunakan. Tetapi syaratnya sebagaimana dijelaskan di atas, plus bahwa benda itu tidak basah, misalnya tisu basah atau tanah liat, itu tidak bisa. Atau licin, sehingga kotorannya tidak bs diambil sempurna, misalnya batu yang sudah dipoles halus.
Namun demikian, menggunakan air oleh ulama dikatakan lebih utama di dalam bersuci, sebab sifat air yang dapat mengikis habis kotoran, berbeda dengan benda padat yang masih memungkinkan menyisakan kotoran, meski dimaafkan kalau toh terjadi hal yang demikian. Kalau toh menggunakan batu atau benda lainnya, maka teknisnya adalah peganglah dengan tangan kiri lalu meletakkan benda tersebut di atas qubul atau dubur, lalu digosokkan secara berlawanan. Atau jika bisa adalah dengan memutarnya. Dan hindarkan hanya menggunakan satu saja, maksudnya kalau menggunakan batu adalah dengan tiga batu. Bahkan jika dirasa masih ada kotoran yang melekat, maka dianjurkan untuk melanjutkan dengan keempat, kelima dan seterusnya sehingga yakin benar akan kebersihannya. Usai melakukan ini semua, cucilah tangan untuk membersihkan kotoran yang mungkin menempel di tangan kita (Ihya Ulumiddin, juz 2, h. 13-14)
Di dalam fiqh, ada beberapa istilah, yaitu istinja', ini istilah umum untuk membersihkan kotoran dari dua lubang. Ada juga istithabah, yang arti pasnya di dalam bahasa kita adalah kelegaan, karena telah terbebas dari kotoran. Khusus untuk istijmar, ulama menjelaskan bahwa ia berasal dari kata jimaar, atau kerikil. Maksudnya adalah bebersih dengan menggunakan batu, dan dikatakan, istijmar ini harus dengan batu berbilang, yaitu tiga. Keterangan ini bisa dilihat di Al-Fiqh ala Madzahibil 'Arba'ah juz 1, h. 82
Mungkin perihal batu ini bagi kita tidak terlalu urgen. Tetapi bagi yang ada di perjalanan, di pengungsian, di tempat-tempat terpencil, di mana akses air susah, maka ketentuan ini biasanya akan berlaku. Karena itu istilah istijmar diperluas menjadi bersuci dengan benda selain air, termasuk di antaranya daun, pecahan genteng, batu bata yang tidak dipakai, kertas, kayu, dst. Di sini daun dikecualikan boleh digunakan, selama ia suci dan tidak basah. Yang dilarang, yaitu menggunakan tulang.
Pertanyaan 1 :
Bagaimana meyakinkan bahwa beristijmarnya telah sempurna, terutama setelah, maaf, BAB? Apakah cukup dengan bilangan batunya, atau harus benar benar hilang rasa, warna dan baunya...?
Jawaban 1 :
Memang beda bersuci dengan air, kalau dengan benda-benda lain finishingnya berbeda. Karena sebagaimana disampaikan di atas, kelebihan air, sebagaimana dikatakan Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, meski dia madzhab Maliki, tetapi di sini condong ke Syafi'i, bahkan memberikan argumen yang sebelumnya tidak disampaikan oleh Syaf'i, yaitu bahwa kelebihan air adalah ia bisa mengikis habis kotoran sebersih-bersihnya. Nah, berbeda dengan batu atau tisu, ada kemungkinan tersisa kotoran, karena sifat benda-benda ini tidak menyebar ke semua bagian hingga terkecil dan tersulit sebagaimana air. Ia terbatas pada sejauh mana kita menekan benda ini tatkala bersuci. Karena itu kemudian batasannya adalah hissiyah atau indrawi, main perasaan mudahnya. Artinya, kita gunakan batu itu hingga yakin sudah bersih, jika tiga kali kurang, tambah 4 dst, diusahakan ganjil. Kalau masih ada yang tertinggal, maka itu dimaafkan12:45
Pertanyaan 2 :
Bagaimana memandikan jenajah wanita yang sedang haid :
Sedikit menyambung pertanyaan dari Haji Darsono, perihal memperlakukan jenazah. Sebetulnya detailnya itu ada pada saat training memandikan jenazah, dan ini banyak masjid yang menyelenggrakan. Bahwa bagi yang memandikan jenazah tidak disyaratkan suci, atau wudlu dulu, bahkan waktu itu ia haidh, misalnya, itu juga dibolehkan. Tetapi memang disunnahkan setelah memandikan mayit untuk mandi, membersihkan badan kita dan mensucikan diri kita sendiri. Ini nanti detailnya pada saat kita membahas ini. Kedua, kalau mayitnya dalam kondisi haidh, maka memandikannya juga sama dengan mayit yang lain, kecuali keluar darah, maka dibersihkan.

  Demikian pengajian online minggu ini.
  Kami ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya, penghargaanyang setingi tingginya kepada     majlis asatidz, terutama ust. Fathuri.
  kami tutup, subhanakallahumma wabihamdika asyhadu an lailaaha illa anta astagfiruka wa atubu   ilaik...
  wassalamualaikum wr. wb.

Baca juga :   DARI MANA MENGENAL ALLOH
                    PERBANYAKLAH SUJUD DENGAN SHOLAT

Tidak ada komentar: