Home

TAFSIR JALALAIN 1 Jumadil Akhir 1437 H/ 20 Maret 2016

Rangkuman pengajian Ahad pagi Majlis Taklim Tafsir Jalalain Tempat : musholla Al-Muhajirin, Puri Harmoni 1 Tgl          : 11 jumadil ak...

Jumat, 03 Juni 2016

PERIHAL SHALAT SUNNAH TAHIYATAL MASJID

Narasumber : Ustadz Fathuri Ahza Mumthaza


  Dalam Nihayatuzzain Syarah Qurratul 'Ain, h. 102, diterangkan bahwa ada banyak jenis shalat sunnah. Ada shalat sunnah yang kesunnahannya karena memiliki sebab (dzu sababin) dan ada juga shalat sunnah yang tidak memiliki sebab. Nah, shalat tahiyatal masjid, masuk kategori pertama, yaitu shalat yang memiliki sebab. Ia sama dengan shalat gerhana. Bedanya, tidak disunnahkan jama'ah dalam pelaksanaannya. Shalat ini dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap masjid. Dan di sini tidak harus masjid yang selalu untuk shalat, apalagi jum'atan. Mushalla pun ketika kita memasukinya, maka disunnahkan untuk shalat tahiyatal masjid, bahkan pesholatan (tempat khusus shalat) di rumah kita, sesungguhnya pun dibolehkan untuk shalat tahiyatal masjid ini. Artinya, tempat yang hanya kadang-kadang saja digunakan untuk shalat pun dianjurkan ketika memasukinya untuk melaksanakan shalat sunnah ini.


 Jadi, makna masjid di sini tidak dipahami sebagai bangunan masjid, yang selama ini kita pahami. Tetapi masjid sebagai tempat sujud, ibadah, jadi shalat menghormati tempat sujud atau ibadah. Lalu bagaimana ketika mau shalat sunnah ini waktunya mepet dengan shalat rawatib, mana yang didahulukan?
 Nah, lebih jauh dijelaskan, bahwa shalat sunnah tahiyatal masjid disunnahkan dilakukan bagi orang yang masuk masjid, dalam kondisi suci (tidak berhadast besar dan kecil), artinya memiliki wudlu sebelum ia duduk (bahkan ada keterangan lain, bahwa meski sudah duduk pun, masih dianjurkan shalat ini dulu). Tetapi kesunnahan ini gugur, ketika ditakutkan ketinggalan shalat rawatib (walam yakhaf fauta ratibatin), apalagi shalat fardlu. Artinya, jika waktu yang ada, hanya cukup untuk shalat qabliyah, maka diutamakan yang qabliyah. Sebab meski hanya shalat qabliyah, pahala tahiyatal masjid sebetulnya kita pun sudah dapat dengan qabliyah itu
 Berkaitan dengan khutbah Jumat. Pertama, shalat tahiyatal masjid tidak dianjurkan dilakukan oleh khotib, ketika waktu ia khutbah telah tiba. Artinya, sebaiknya ia langsung naik ke mimbar. Kedua, bagi ma'mum, maka kesunnahaan shalat tahiyatal masjid masih berlaku hingga khutbah pertama. Tetapi kalau sudah memasuki khutbah kedua, dan dikhawatirkan ma'mum akan ketinggalan takbiratul ihramnya Imam, maka jangan shalat tahyatal masjid. Ada pendapat lain, menyebutkan bahwa untuk saat khutbah ini, sebaiknya ma'mum tidak perlu shalat tahiyatal masjid, tetapi langsung mendengarkan khotib dengan seksama. Meskipun pendapat pertama, itulah yang lebih mu'tamad menurut Syafi'i. Jadi tetap boleh shalat, asal jangan sampai tertinggal shalat jumatnya.
 Oleh karena itu, disini sebetulnya terjadi dua hal, yang dianjurkan. Yaitu shalat tahiyatal masjid dan mendengarkan khotib. Dua-duanya adalah perbuatan utama. Karena itu, dalam prakteknya, melihat situasi, jika baru muqaddimah, silahkan saja shalat tahyatal masjid, tetapi jika sudah materi, maka lebih baik langsung duduk saja mendengarkan khutbah jum'at.
Demikian , Wallaahu a'lam Bish shawaab.

PERIHAL MENJAMAK SHALAT

Narasumber : Ustadz Fathuri Ahza Mumthaza


  Perihal menjamak shalat, berkaitan dengan waktu pelaksanaan.

  Keterangan yang cukup jelas bisa dilihat di Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 440, bahwa syarat jamak taqdim ada 6:
Pertama, tertib atau urut dalam pelaksanaanya, sesuai shalat yang memiliki waktu. Artinya kalau jamak Dhuhur-Asyar, maka yang dilaksanakan lebih dulu adalah Dzuhur dulu.
  Kedua, niat menjamak pada waktu shalat yang pertama.
  Ketiga, dikerjakan secara berurutan, tidak jeda panjang. Boleh jeda hanya untuk iqamat, adzan, dan bersuci. Tetapi kalau diselingi shalat lain, sunah rawatib misalnya, maka itu tidak diperbolehkan.
Keempat, adanya kondisi masih dalam safar hingga takbiratul ihram shalat yang kedua.
Kelima, yakin bahwa waktu shalat pertama masih ada. Artinya waktu pelaksanaan bukan pada waktu shalat kedua.
Keenam, shalat yang pertama diyakini sah, sehingga yakin untuk lanjut dengan shalat yang kedua.

 Sementara untuk jamak ta'khir syaratnya hanya dua:
Pertama, niat menjamak ta'khir pada waktu shalat yang pertama.
Kedua, masih dalam posisi musafir ketika kedua shalat dilaksanakan. Di dalam pelaksanaannya, shalat mana yang lebih dulu dilaksanakan, disunahkan shalat yang memiliki waktu, artinya Ashar dulu baru dzuhur atau Isya dulu baru maghrib. Tetapi ini sebatas sunnah saja
  Karena itu di dalam prakteknya para ulama sepakat bahwa untuk dhuhur-ashar, maka yang lebih utama adalah jamak taqdim. Sedangkan untuk maghrib-isya, yang utama adalah jamak ta'khir.
 Nah, sesuai pertanyaan Pak Sumono, ternyata saat beliau shalat jamak, imamnya shalat Isya dulu, padahal waktunya masih maghrib. Karena itu, sesuai syarat yang disebutkan di atas, maka yang sah adalah shalat maghribnya saja, isya'nya tidak. Kecuali memang, sang imam, tidak tahu atau lupa dan makmum juga demikian. Kalau ada unsur lupa atau tidak tahu (misalnya, si imam yakin bahwa sudah masuk waktu isya padahal masih maghrib), maka tetap sah shalatnya.  Tetapi jika tidak ada unsur demikian, maka shalat Isya-nya tidak sah. Karena itu harus shalat Isya lagi, mengganti yang tidak sah, dan jangan sampai ada jeda dengan pekerjaan lain dengan shalat sebelumnya. Demikian waLlahu a'lam bish shawaab...

Senin, 30 Mei 2016

FENOMENA MATI SURI


USTADZ FATHURI AHZA MUMTHAZA

Pertama, terkait dengan mati suri, maka kita tidak lepas dari bicara tentang ruh. Dan bicara tentang ruh, maka kita tidak bisa tidak lepas bagaimana Al-Qur'an bicara tentangnya. Ringkasnya, di dalam Al-Qur'an paling tidak ruh disebut 24 kali, tersebar di 19 ayat dalam 21 ayat. Namun, di antara pesan yang jelas tentang hal ini adalah pada ayat 85 surat Al-Isra', yang dikatakan, ketika Ahli kitab bertanya tentang ruh, maka katakan bahwa perihal ruh adalah urusan Tuhanku dan kalian tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit.
 Nah, kalau bicara mati suri, ayat yang cukup jelas menerangkan hal ini adalah ayat 42 surat Az-Zumar. Tafsirnya bisa dilihat di banyak kita tafsir. Di sini kami ambilkan satu tafsir saja, yaitu 


Ibnu Katsir dan dilengkapi dengan penjelasan yang ada pada Kitab Ar-Ruh, buah tangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Meski seperti Imam Al-Ghazali juga di dalam beberapa kitabnya membahas cukup panjang lebar berkaitan dengan hal ini.
 Nah, di dalam ayat ini Ibnu Katsir menjelaskan bahwa bagi manusia, ada dua kematian, yaitu kematian besar dan kematian kecil. Kematian besar adalah kematian ketika arwahny atau ruhnya tidak dikembalikan lagi, dan inilah kematian yang sesungguhnya. Sedangkan kematian kecil adalah ketika ruh kita dicabut, tetapi nanti dikembalikan lagi, inilah yang disebut kematian kecil.

Tafsir Ibnu Katsir, juz 7, h. 102

 Mengutip Ibnu Abbas, bahwa Allah menahan jiwa orang yang mati dan melepaskan jiwa orang yang hidup, dan tidak pernah terjadi kekeliruan dalam hal ini. Artinya, bagi yang masih memiliki jatah waktu hidup, maka meski ruhnya sudah dilepas, baik itu dalam kondisi tidur atau kondisi lain, termasuk yang masyhur disebut mati suri, maka ia tetap akan kembali ke jasadnya. Ini yang kemudian ulama sebut dengan Ruh al-yaqdhah.
 Dengan kondisi inilah, menarik penjelasan Ibnu Qayyim, bahwa kemungkinan ruh orang yang sudah mati bertemu dengan yang masih hidup, adalah fakta. Maksudnya ruh orang mati dan yang hidup bisa bertemu dan bertanya jawab, saling bicara, bahkan dikatakan ruh orang yang sudah mati bisa mengabarkan hal yang sudah terjadi bahkan yang akan datang (Ar-Ruh, h. 30). Karena itu kisah2 di dalam berbagai kitab tentang pengalaman orang yang sudah meninggal bisa menjadi masuk akal dan bisa diterima, karena memang ruh yang hidup, bisa berjumpa dengan ruh yang sudah mati dengan kehendak Allah SWT.
Demikian Wallahu a'lam bish showaab.

TAFSIR JALALAIN

Rangkuman pengajian  
Majlis Ta'lim Tafsir Jalalain
Ahad, 22 Sya'ban 1437 H/29 Mei 2016
Tempat : Masjid Arrahmah, Duta Mekar Asri.Cileungsi.Bogor
Narasumber : KH Slamet Azis Zein 

KH.Slamet Azis Zein

TAFSIR JALALAIN

QS. Al-Furqon ayat 21

وَقَالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءنَا لَوْلَا أُنزِلَ عَلَيْنَا الْمَلَائِكَةُ أَوْ نَرَى رَبَّنَا لَقَدِ اسْتَكْبَرُوا فِي أَنفُسِهِمْ وَعَتَوْ عُتُوّاً كَبِيراً 

«وقال الذين لا يرجون لقاءنا» لا يخافون البعث «لولا» هلا «أنزل علينا الملائكة» فكانوا رسلا إلينا «أو نرى ربنا» فنخبر بأن محمدا رسوله قال تعالى «لقد استكبروا» تكبروا «في» شأن «أنفسهم وعتوا» طغوا «عتوا كبيرا» بطلبهم رؤية الله تعالى في الدنيا وعتوا بالواو على أصله بخلاف عتى بالإبدال في مريم 

(Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuannya dengan Kami,) yakni orang-orang yang tidak takut kepada adanya hari berbangkit dan hari pembalasan ("Mengapakah tidak) (diturunkan kepada kita malaikat) yang menjadi Rasul-rasul kepada kita (atau mengapa kita tidak melihat Rabb kita?") kemudian kita diberi tahu, bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya. Lalu Allah berfirman, ("Sesungguhnya mereka memandang besar) merasa besar (tentang diri mereka dan mereka telah melampaui batas) berlaku sangat kurang ajar (dengan kelewat batas yang sangat besar) disebabkan mereka berani meminta melihat Allah SWT di dunia. Lafal 'Atauw dengan memakai huruf Wau sesuai dengan kata asalnya, berbeda dengan lafal 'Ataa yang huruf akhirnya telah diganti menjadi Ya, seperti dalam surah Maryam.

Point-point penting :
1) Di dalam kitab tafsir Jalalain, ayat "orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuannya dengan Kami" ditafsirkan sebagai orang-orang yang tidak takut kepada adanya hari berbangkit dan hari pembalasan. Artinya mereka orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT.

2) Rasulullah SAW, di dalam salah satu haditsnya, beliau bersabda mengenai  orang yang berharap bertemu dengn Allah SWT sbb :

عن ابي هريرة رضي الله عنه انه قال .سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : من كان يرجو لقاء الله فليكرم أهل الله ،قيل يا رسول الله هل لله عز وجل أهل ؟قال نعم ،قيل من هم يا رسول الله؟ قال أهل الله في الدنيا الذين يقرءون القرآن أﻻ من اكرمهم فقد أكرمه الله وأعطاه الجنة ،ومن أهانهم فقد أهانه الله وأدخله النار. يا أبا هريرة ما عند الله أحد أكرم من حامل القرآن ،أﻻ وإن حامل القرآن عند الله أكرم من كل أحد إﻻ اﻷنبياء 
Aryinya : 
Dari Abu Hurairoh RA, sesungguhnya beliau berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : "Barang siapa yang menginginkan bertemu dengan Allah SWT maka muliakanlah Ahlullah". Ditanya Rasullullah SAW, wahai Rasulullah SAW apakah Allah azza wa jalla mempunyai ahlun? Rasulullah SAW menjawab, "betul". Kemudian Rasulullsh SAW ditanya lagi, "wahai Rasulullah SAW siapakah mereka?". Rasulullah SAW menjawab, "Ahlullah di dunia itu,  adalah orang orang yang membaca Alquran. Maka ingatlah, barang siapa yang memuliakan mereka maka sesungguhnya telah memuliakan Allah dan diberikan kepada mereka surga. Dan barang siapa yang menghinakan mereka, maka sesungguhnya telah menghinakan Allah SWT dan akan Allah SWT masukan ke dalam neraka.  Wahai Abu Hurairoh, tidak ada di sisi Allah yang lebih mulia daripada pembawa Alquran (haamilul quran). Ingatlah, sesungguhnya haamilul quran itu lebih mulia dari semua manusia kecuali para Nabi".
Semoga kita termasuk diantara golongan "yaqrouuna Al-quran" dan "haamilu al-quran". Aamiin.

3) Orang-orang yang tidak takut akan adanya hari kebangkitan ini mengatakan: "Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat yang menjadi Rasul-rasul kepada kita, atau mengapa kita tidak melihat Rabb kita? kemudian kita diberi tahu, bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya. 
Hal ini sebenarnya hanya alasan saja. Sejatinya mereka tidak akan beriman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.

4) Sikap seperti ini, terbentuk karena ada sifat takabur pada diri mereka. Mereka merasa diri besar, selain dirinya kecil.
Doa Abu sa'id Al-Khudri untuk mengjindari sikap takabur ini :
اللهم اجعلني في عيني صغيرا وفي اعين الناس كبيرا
Artinya :
Ya Allah, jadikanlah diriku, dalam pandanganku kecil, dan dalam pandangan manusia besar.

MUKHTARUL HADITS


  اطلب الحواءج بعزة الانفس فان الامور تجرى بالمقادر (رواه ابن حبا عن عبد الله بن يسر) ر
 Artinya :
 Carilah keperluan hidup (maisyah) dengan kebesaran jiwa, karena segala sesuatu berjalan dengan ketentuannya.


MAO'IDLOTUL HASANAH

Mengenai orang orang yang berharap bisa bertemu dengan Allah SWT, dalam QS Al-kahfi ayat 110 Allah SWT berfirman :
                     
(قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا)
Artinya :
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Kenikmatan di surga itu adalah kenikmatan tak terhingga. Sesuatu yang tidak pernah terlihat pandangan mata, tidak pernah terdengar pendengaran dan tidak pernah terbersit dalam fikiran manusia. Tetapi semua kenikmatan itu, tidak akan sebanding dengan kenikmatan berjumpa dengan Allah SWT.

Ust. Rusydi Hilmi:

Dalam kehidupan sehari hari, kita sering melihat, seseorang yang dalam pandangan kita sering berbuat maksiat tetapi Allah SWT mudahkan urusannya dan dilapangkan usahanya. Mengapa bisa demikian? Biasanya jawaban yang diberikan: "itu namanya istidraz". 
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah kita pernah bermuhasabah, bahwa istidraz ini juga sedang berlaku pada diri kita???
Hukuman atas kesalahan atau dosa kita akan Allah balas seketika. Misalnya ketika kita berbuat salah, Allah cabut rasa khusyu' ketika sholat sehingga sholatnya menjadi tidak bermakna. Atau Allah SWT cabut dari diri kita perasaan tidak bersalah ketika berbuat dosa. Naudzu billahi min dzalik.

Allah SWT berfirman di dalam QS An-Nahl ayat 63 :

تَاللَّهِ لَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَىٰ أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَهُوَ وَلِيُّهُمُ الْيَوْمَ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ                                                                                             
Artinya :
Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi syaitan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka syaitan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih.

Ust. H. Maulana.

Kita sebagai ummat Islam, hendaknya waspada dengan pendangkalan akidah.
Berbagai macam cara dilakukan para musuh-musuh Islam mengenai pendangkalan akidah ini. Salah satunya dengan pembuatan buku atau pamflet yang menggiring kaum muslimin untuk ragu terhadap akidahnya.

Ust. Zul Akbar.

Upaya untuk meningkatkan iman :
1> Tarkizu ibadah yaitu memfokuskan ibadah kepada Allah.
2> Tagyiirul Ittija :  yaitu perubahan orientasi hidup untuk akhirat.
                                                    
        Ust. Fathuri Ahza Muthaza

Diantara bait-bait syair yang masyhur dari Imam Syafi’i tatkala Beliau mengadukan tentang buruknya hafalan Beliau kepada Imam Waki’ bin Jarrah, Beliau mengatakan:

شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ             فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ المَعَاصِي

وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ العِلْمَ نُوْرٌ           وَنُوْرُ اللهِ لَا يُؤْتَى لِعَاصِي

Aku mengadukan kepada Waki’ keburukan hafalanku,
Lalu Beliau membimbing aku untuk meninggalkan maksiat,
Beliau mengabarkan kepadaku bahwa ilmu itu adalah cahaya,
Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat.

Imam Gozali mengatakan, 
kalaupun engkau baca 1000 kitab selama seratus tahun tidak akan bisa menjadi jaminan untuk mendapatkan rahmat Allah SWT
 Jika ilmu itu tidak diamalkan.

 



 

 

                                                                          Semoga bermanfaat. Aamiin...