Oleh : Ustadzuna Fathuri Ahza Mumthaza
Ustadzuna Fathury Ahza Mumthaza
Assalamu'alaikum Warohmatullaahi Wabarookaatuhu.... Bismillah
Alhamdulillah wash-shalaatu was-salaamu 'ala rasulillah wa 'ala alihii
wa shahbihi ajma'in amma ba'du... Terima kasih sebelumnya Ust Hilman...
Mohon izin pada Yai Aziz, Para Ustadz, dan Jama'ah sekalian untuk
melanjutkan pembahasan mengenai QURBAN yang telah dimulai sejak minggu kemarin...
Terima kasih Pak Haji... Sebelum mulai, mohon perkenannya untuk
membaca Ummul Qur'an. Mudah-mudahan dengan membaca surat pembuka
Al-Qur'an ini dimudahkan dan dilancarkan di dalam mengkaji dan
mengamalkan perintah Allah dan Rasul-Nya.... Alfaatihah...
Bismillahirrahim... Minggu lalu kita
sedikit sudah menyinggung perihal syarat-syarat hewan qurban. Hari ini,
sebagaimana yang tercantum dalam At-Tadzhib, h. 243, ada empat kondisi
binatang qurban yang tidak dibolehkan untuk dijadikan qurban. Pertama,
Al-'Aura'u, yaitu hewan yang matanya rusak sebelah, yang tampak jelas
kerusakannya. Kedua, al-'arjau atau hewan yang pincang, yang sangat
tampak kepincangannya. Ketiga, Al-'Ajfau, atau hewan yang kurus hingga
hilang sumsumnya hingga hilang karena kekurusannya. Keempat,
al-mariidhah, yaitu hewan yang jelas sakitnya. Lebih jauh disampaikan
bahwa dianggap cukup, artinya boleh qurban dengan hewan yang dikebiri
dan hewan yang pecah tanduknya. Sedangkan hewan yang putus telinga dan
ekornya, tidak diperbolehkan. Baik putusnya semua telinga/ekor atau
hanya sebagiannya, karena mengurangi daging dan hilangnya bagian yang
akan dimakan. Adapun dasar dari 4 kondisi yang dilarang untuk dijadikan
qurban adalah hadist shahih riwayat Tirmidzi dan Abu Daud, dari Al-Barra
bin Azib, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, "Ada empat hewan yang tidak
boleh dijadikan kurban: buta sebelah yang jelas butanya, sakit yang
jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya ketika jalan, dan hewan
yang sangat kurus, seperti tidak memiliki sumsum.”
Di dalam beberapa rujukan lain, sesuai pertanyaan Pak Yasir minggu
lalu, apakah boleh qurban dengan hewan betina? Di sini jenis kelamin
tidak menjadi halangan, baik betina maupun jantan, semua dibolehkan.
Mungkin dalam kondisi tertentu, hewan betina dihindari karena untuk
peranakan atau pengembangan ternak sebagai induk. Berbeda dengan hewan
jantan, yang tidak perlu banyak untuk pejantan.
Pertanyaan:
Apakah boleh berqurban dengan uang Zakat, semisal Zakat profesi?
Terkait pernyataan Sheykh Ali Jaber dalam video yang berdurasi 10
menit lebih yang berisi tertang perihal berqurban, apakah boleh
berqurban satu ekor kambing tapi diatasnamakan untuk satu keluarga?
Apakah hukum berqurban itu wajib?
Apakah yang dimaksud dengan Qurban digital dan Hukumnya?
Apa hukum berqurban ditempat lain semisal dikampung halaman sedangkan sipequrban berada ditempat lain?
Penjelasan;
Pertama, perihal video Syeikh Ali Jaber, ada beberapa hal yang perlu
dijernihkan, agar tidak simpang siur. Satu, dikatakan qurban itu wajib?
Dalam beberapa literatur, sehingga kita bisa mengecek bersama-sama
bahwa sebagaimana sebelumnya pernah kami sampaikan bahwa hukum qurban
ulama madzhab tidak satu suara, ada ikhtilaf. Secara garis besar bisa
dibagi tiga. Pertama, hukum qurban adalah wajib. Inilah pendapat Imam
Abu Hanifah. Namun, di dalam madzhab Hanafi sendiri, ulama di belakang
Imam Abu Hanifah mayoritas menyatakan hukumnya sunnah muakkad, di
antaranya Abu Yusuf (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 3, h. 595)
Dasar Imam Abu Hanifah menyatakan wajib adalah Surat Al-Kautsar ayat
2, "Fashalli lirabbika wanhar." Maka shalatlah kamu dan berkurbanlah.
Ada amr atau perintah di terhadap kurban dalam ayat ini. Kedua, hadist
Nabi SAW yang menegaskan, "Siapa saja yang memiliki keluasan (kekayaan),
tetapi dia tidak berqurban, maka janganlah mendekati tempat shalat
kami."( Hadist Shahih riwayat Hakim).
Adapun dasar dari ulama yang menghukumi sunnah (tidak hanya sebagian
ulama Hanafi, tapi juga Syafii, Maliki, dan Hambali), bahwa ayat dan
hadist di atas benar menunjukkan perintah akan qurban. Tetapi ada
qarinah (istilah dalam Ushul fiqh, yaitu petunjuk yang menentukan hukum
sesuatu setelah dikumpulkan berbagai dalil yang ada) dengan dasar dalil
yang lain, di mana menunjukkan bahwa qurban tidak sampai derajat wajib.
Yaitu, hadist yang beberapa kali telah disebut, yang berkenaan larangan
mencukur dan memotong kuku bagi orang yang qurban. إذا رأيتم هلال ذي
الحجة ، وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره . Kata araada
ahadukum dalam hadist shahih ini, yang diriwayatkan oleh Muslim dengan
beberapa redaksi berbeda (kadang araada, kadang yuridu, tapi maknanya
sama) adalah qarinah yang menunjukkan bahwa kata "jika
menghendaki/ingin" menunjukkan qarinah ghariu jazm, atau petunjuk tidak
tegas akan kewajiban dalam qurban. Artinya derajat perintah qurban
setelah dikumpulkan beberapa dalil menunjukkan hukum qurban sampai pada
tingkat sunnah muakkad.
Contoh lain, untuk mempermudah, adalah dalil tentang ziarah kubur. Dalam hadist Shahih riwayat muslim dikatakan, نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
Kata Nabi, "Dulu aku melarang kalian ziarah kubur, maka (sekarang)
ziarahlah." Kata ziarahlah adalah amr atau perintah untuk ziarah, di
mana prinsip dasar sebuah perintah adalah menunjukkan wajib. Tetapi
perintah ini jatuh setelah ada larangan "nahaitukum". Karena itu, jika
ada perintah jatuh setelah adanya larangan, oleh ulama dikatakan,
menunjukkan hukum sesuatu yang diperintahkan itu sunnah, tidak wajib.
Atau contoh yang berkaitan dengan qurban ini adalah hadist tentang
larangan memotong rambut dan kuku bagi orang yang qurban. Hadist dasar
larangan memotong kuku dan rambut adalah إذا رأيتم هلال ذي الحجة ، وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره ) رواه مسلم
Artinya, Ketika kalian melihat hilal
dzulhijjah, dan salah satu di antara kalian menghendaki untuk
berqurban, maka tahanlah (untuk memotong) rambut dan kukunya. Hadist ini
jelas menunjukkan larangan "falyumsik". Namun, hal ini harus
dikumpulkan dulu seluruh dalil, dan disebutkan hadist lain, yang
berbunyi berbeda dengan hadist ini, yaitu hadist riwayat Aisyah, yang
berbunyi: قالت : كنت أفتل قلائد هدي رسول
الله صلى الله عليه وسلم ثم يقلده ، ويبعث به ولا يحرم عليه شيء أحله الله
حتى ينحر هديه " رواه البخاري ومسلم
yang artinya: ‘Aisyah RA beliau berkata "Aku mengikatkan tali pada
hewan qurban Rasulullah SAW kemudian Rasulullah SAW mengikatnya kembali
dengan tangan Beliau lalu mengirimnya. Maka sejak itu tidak ada yang
diharamkan lagi bagi Rasulullah SAW dari apa-apa yang Allah halalkan
hingga hewan qurban disembelih." Karena itulah dai berbagai dalil ini
disunnahkan bagi yang qurban untuk tidak mencukur rambut dan kukunya.
Sebaliknya, makruh hukumnya melakukan keduanya. (Al-Fiqh Al-Islami Wa
Adillatuhu, juz 3, h. 626-627)
Karena itulah, kesimpulan dari beberapa contoh ini, menegaskan
pendapat jumhur ulama, baik dari Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali,
bahwa hukum dasar qurban adalah sunnah muakkad, menyelisihi pendapat
Imam Abu Hanifah yang mengatakan wajib. Meski demikian ulama kemudian
merinci kesunnahan ini, sehingga bisa kita petakan menjadi dua pendapat
berikutnya. Yaitu hukum qurban adalah sunnah 'ain, (sama seperti fardlu,
ada fardlu 'ain dan fardlu kifayah. Sunnah juga ada sunnah 'ain dan
sunnah kifayah). Maksudnya adalah kesunnahan yang ditetapkan kepada
setiap musli mukallaf yang mampu. Karena itu, qurban dianjurkan bagi
masing individu-individu muslim. Inilah pendapat Abu Yusuf (madzhab
Hanafi). Ini juga pendapat Maliki, meskipun dalam penjelasannya Maliki
menegaskan qurban dibebankan setiap individu muslim dalam kepemilikan
atau pembeliannya. Tetapi jika ketika ia qurban, kemudian diniatkan
pahalanya diberikan pula pada keluarganya, maka keluarganya mendapatkan
pahal yang sama. Hanya saja Maliki mensyaratkan, tiga hal: orang yang
diniatkan itu adalah tinggal bersama orang yang qurban, kerabat atau ada
hubungan darah, dan diberi nafkah olehnya. Keluarga yang seperti inilah
yang dibolehkan oleh Maliki diniatkan dalam qurban itu.
Pendapat lain dikemukakan oleh Syafi'i dan Hambali, yaitu bahwa
qurban hukumnya adalah sunnah 'ain bagi setiap individu, tetapi sunnah
kifayah bagi sebuah keluarga. Maksudnya bagi seseorang yang tidak
berkeluarga, maka ia sendiri dikenai hukum sunnah ini, sedangkan bagi
sebuah keluarga, maka jika kepala keluarga, misalnya, berqurban, maka
anggota keluarga lain gugur dari kesunnahan qurban.
Gugur yang dimaksud di sini adalah bahwa bagi keluarga yang lain
tidak lagi dituntut kesunnahan qurban, tetapi tidak mendapat pahala yang
sama seperti halnya orang yang qurban. Hanya gugur saja tuntutan
kepadanya pada tahun qurban tersebut. (Al-Mausu'ah, juz 5, h. 77-78).
Tetapi lebih jauh dijelaskan bahwa kesunnahan qurban ini sekali seumur
hidup bagi setiap muslim. Artinya, jika tahun ini, karena anggota
keluarganya ada yang qurban, maka gugurlah tuntutan padanya, tetapi pada
tahun berikutnya tuntutan itu hadir kembali, tidak gugur selamanya.
Dasarnya adalah يَا أَيُّهَا النَّاسُ! عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِى
كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ, Wahai manusia, atas setiap keluarga
diperintahkan setiap tahun untuk berqurban. Hadist Ahmad, Ibnu Majah,
dan Tirmidzi nilainya shahih atau hasan.
Karena itulah kemudian, muncul pertanyaan, apakah disunnahkan qurban
bagi anak kecil? Maka ulama menegaskan bahwa tetap disunnahkan, meski
uang untuk membelinya adalah dari bapaknya.Karena itulah, kesimpulan
dari ini. Jika dikatakan qurban itu wajib, sebagaimana disebut Syaikh
Ali Jaber, maka itu adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Dan jika Syaikh
Ali Jaber mengatakan bahwa cukup qurban satu untuk keluarga, itu adalah
pendapat sebagian Syafi'i dan Hambali. Meskipun kalau diteliti lebih
jauh, misalnya di Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab, juz 3, h. 354, Imam
Rafii (Madzhab Syafii) bahwa kesunnahan qurban berlaku bagi setiap
individu dalam keluarga. Artinya, satu keluarga yang berqurban tidak
membatalkan kesunnahan bagi yang lain.
Karena itu, jika dikatakan praktek di sini jauh dari ketentuan soal
qurban, maka terbantahkan. Sebab yang dipraktekkan adalah ketika hewan
qurban akan disembelih, maka disebutkan nama-nama yang qurban. Jika yang
qurban tahun ini hanya satu orang dari satu keluarga dengan satu
kambing misalnya, maka sah-sah saja. Atau sebaliknya, yang qurban satu
sapi, misalnya, dari 7 anggota dari satu keluarga, juga dibolehkan,
karena mengikuti pendapat Hanafi, Maliki, dan sebagian Syafi'i bahwa
kesunnahan qurban ini berlaku bagi masing-masing individu (sunnah 'ain).
Dan ini sejalan yang disampaikan juga oleh Syaikh Ali Jaber, jika mampu
keluarga itu, boleh lebih dari satu. Itu dipersilahkan. Karena perlu
diingat, bahwa qurban tujuannya adalah qurbah, mendekat kepada Allah,
bersyukur atas nikmat Allah, dan berbagi kebahagiaan di hari raya Idul
Adha yang disebut sebagai yaumu aklin wa syurbin wa dzikrillah, hari
makan, minum (makan daging qurban dll, hingga haram puasa), dan hari
dzikir (dengan takbir selama Hari Raya dan Hari Tasyriq).
Mengapa nama-nama itu disebutkan saat menyembelih? Sebab Niat qurban
itu dianjurkan saat penyembelihan, meski dibolehkan saat membeli atau
menyerahkan qurban tersebut. Lebih dari itu, disunnahkan pula mudhahhi
atau orang yang qurban untuk menyembelih sendiri hewan qurbannya,
sebagaimana yang Nabi lakukan. Atau kalau toh tidak, artinya mewakilkan
dalam penyembelihan, disunnahkan untuk menyaksikan penyembelihan itu.
Dasarnya adalah hadist Nabi, "Wahai Fatimah, bangunlah (dan mendekat)
pada hewan qurbanmu, serta saksikanlah ia (hadist riwayat Hakim), meski
dinilai hadist ini dhaif. Karena itulah, kalau memang tidak bisa
menyaksikan, juga tidak apa-apa, tidak menjadi kewajiban. Yang
terpenting adalah niat qurban ketika membeli atau menyerahkan hewan
qurban itu kepada panitia.
(Lihat Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 3, h. 628, Al-Mausu'ah,
juz 5, h. 100). Karena itu, menyambung pertanyaan Ust CW berkaitan
dengan qurban digital, maka itu dibolehkan. Yaitu qurban dengan membeli
secara digital, dan tidak menyaksikan langsung hewan qurbannya
disembelih. Sebab jual beli secara digital dibolehkan, seperti kita jual
beli lewat atm atau secara online. Asal masing-masing amanah sesuai
spesifikasi barang yang dibeli.
Terakhir, menyambung dengan pertanyaan Pak Rudi, lebih afdhal mana,
qurban di sini atau di tempat lain? Menegaskan kembali bahwa Nabi dalam
satu hadist mengatakan tentang Idul Adha, "Hari ini adalah hari makan
dan minum.(riwayat Ahmad) " Dalam hadist lain riwayat Muslim, "Hari
makan, minum, dan dzikir kepada Allah." (Tafsir Ibnu Katsir, h. 264).
Karena itu qurban adalah ungkapan syukur kepada Allah dengan berbagi,
sarana memuliakan tetangga dan tamu, berbagi dengan orang fakir
(Al-Mausu'ah, juz 5, h. 76). Di sini jelas bahwa ada keterangan perihal
berbagi makan dengan orang fakir dan tetangga. Itu artinya, bahwa qurban
yang paling utama adalah di dekat rumah sehingga bisa berbagi dengan
orang fakir sekitar. Namun, jika nun jauh di sana, ada yang lebih fakir
dari sekitar kita, maka itu juga mendapat keutamaan pula. Oleh karena
itu tinggal dilihat, mana yang lebih dekat dan membutuhkan, dua faktor
ini yang jadi penimbang. Kalau di kampung banyak yang miskin apalagi
masih keluarga, silahkan qurban di kampung. Tapi kalau di sekitar kita
juga banyak, maka dahulukan yang dekat daripada yang jauh.
WaLlahu a'lam bish-shawaab...