Home

TAFSIR JALALAIN 1 Jumadil Akhir 1437 H/ 20 Maret 2016

Rangkuman pengajian Ahad pagi Majlis Taklim Tafsir Jalalain Tempat : musholla Al-Muhajirin, Puri Harmoni 1 Tgl          : 11 jumadil ak...

Selasa, 29 Agustus 2017

SUNNAH HAI-AT DIDALAM SHALAT (3)

LANJUTAN...
OLEH USTADZ FATHURY AHZA MUMTHAZA



Setelah minggu lalu membahas sunnah-sunnah haiat hingga ketujuh, maka minggu ini memasuki sunnah yang berikutnya:

Kedelapan, bertakbir setiap kali bangun dan menunduk,

Hadits riwayat Bukhari (752) dan Muslim (392), dari Abi Hurairoh ra., bahwa dia sholat bersama para sahabat, maka ia bertakbir setiap kali menunduk (merendah) atau mengangkat (bangun). Ketika selasai sholat ia berkata: Sesungguhnya saya sungguh membuat kamu menyamakan diri dengan sholat Rasulullah saw. Pengertian bangun dan menunduk adalah turun ketika ruku’ dan sujud, dan berdiri dari ruku’ atau sujud.(At-Tadzhib, h. 59)

Inilah takbir intiqal, atau takbir yang dibaca ketika pindah dari satu gerakan ke gerakan berikutnya. Ini dibaca oleh imam, makmum, maupun orang yang shalat sendirian. Dianjurkan untuk memanjangkan bacaannya hingga posisi sujud dan berdiri (Al-Iqna, juz 1, h. 322)


Kesembilan, mengucapkan: "سمع الله لمن حمده ربّنا لك الحمد" ,
Hadits riwayat al Bukhary (705) dan Muslim (390), dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Saya menayksikan Nabi saw. membuka sholat dengan takbir, beliau mengangkat dua belah tangan beliau ketika bertakbir, sampai menjadikan dua belah tangan tersebut setinggi dua bahu beliau. Apabila bertakbir untuk ruku’ juga melakukan seperti itu, ketika mengucapkan:  "سمع الله لمن حمده" juga berbuat begitu, sambil mengucapkan: "ربنا ولك الحمد" , dan beliau tidak mengangkat dua belah tangan belaiu ketika sujud dan ketika bangun dari sujud.Dianggap cukup jika membaca  سمع الله من حمده (AL-Iqna, juz 1, h. 322)

Kesepuluh, membaca tasbih dalam ruku’ dan sujud,

Hadits riwayat Muslim (772), dan lainnya, dari Hudzaifah ra. ia berkata: Saya sholat bersama Nabi saw. apad suatu malam …, lalu beliau ruku’, maka beliau mengucapkan:  "سبحان ربي العظيم .." lalu neliau sujud beliau mengucapkan:  "سبحان ربي الأعلى". .

Karena itulah, Imam Al-Ghazali menyebutkan, untuk membaca tasbih "Subhana rabiyal 'adzimi wa bihamdihi" sebanyak 3 kali atau jika sendirian ditambahkan (Ihya 'Ulumuddin, juz 2, h. 54). Imam Syafi'i menjelaskan bahwa bacaan tasbih ini diriwayatkan dari 'Utbah bin Mas'ud, dari Rasululullah , "Apabila kalian ruku', maka bacalah subhana rabbiyal 'adhimi tiga kali, maka sempurnalah ruku'nya dan itu paling pendeknya." (Al-Um, juz 1, h. 265).


Kesebelas, membaca Tasbih saat sujud.
Dalam Kasyifatus Saja, h. 55 disebutkan bahwa disunnahkan membaca tasbih saat sujud dengan kalimat سبحان ربي العظيم وبحمده

Hal ini didasarkan pada hadist riwayat ‘Utbah:
فقد وردت عن عتبة بن عامر أنه قال : لما نزلت ” فسبح باسم ربك العظيم
 ” قال صلى الله عليه وسلم : اجعلوها في ركوعكم ، ولم نزلت ” سبح اسم ربك الأعلى ” قال : اجعلوها في سجودكم

Meski demikian, sebetulnya lafadzh tasbih dalam sujud ada beberapa macam, di antaranya:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Ini adalah sesuai hadist riwayat Bukhari. Atau boleh juga dengan:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، وَعَلاَنِيَتَهُ وَسِرَّهُ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِعَفْوِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Ini adalah riwayat Muslim. Atau bisa juga ada riwayat lain:

سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ


Dan masih ada beberapa bacaan yang dibolehkan.
Yang jelas, ada larangan bahwa tidak dibolehkan untuk berdoa dengan bahasa ‘ajam atau selain Arab. Ini membatalkan shalat. Sementara jika di luar shalat, maka tidak menjadi masalah (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, juz 3, h. 300).



Keduabelas, meletakkan dua tangan di atas dua paha ketika duduk, membuka tangan kiri dan menggenggam tangan kanan kecuali jari telunjuk, oleh akrena akan untuk memberikan isyarat dengan telunjuk ketika membaca syahadat,

Hal ini didasarkan pada hadits riwayat Muslim (580), dari Ibnu Umar ra. - tentang tatacara duduknya Rasulullah saw. -  ia berkata: Beliau apabila duduk dalam sholat meletakkan telapak tangan kanan di atas paha beliau sebelah kanan, dan mengikatkan seluruh jari-jari beliau, serta memberikan isyarat menggunakan jari sesudah ibu jari (jari telunjuk), dan meletakkan telapak tangan beliau sebelah kiri di atas paha beliau sebelah kiri.

Ketigabelas, duduk iftiros untuk semua jenis duduk, dan tawarruk ketika duduk akhir.

Hal ini berdasarkan hadits riwayat al Bukhary (794), dari Abi Humaid as Sa’idy ra. ia berkata: Saya adalah orang yang paling hafal di antara kamu terhadap sholat Rasulullah saw….., di dalamnya: Apabila beliau duduk pada dua roka’at, maka beliau dudk di atas kaki kiri, dan menegakkan kaki kanan. (Inilah posisi duduk iftiros). Apabila duduk pada roka’at akhir, beliau menyelipkan kaki kiri beliau (di bawah kaki kanan) dan menegakkan kaki kanan, dan beliau duduk di tempat duduk (lantai). Ini yang disebut duduk tawarruk.

Menurut riwayat Muslim (579) dari Abdullah ibnuz Zubair ra.: Rasulullah saw. apabila duduk dalam sholat beliau meletakkan kaki kiri di antara paha  dan betis beliau, dan duduk di atas kaki kiri

Di sini ada posisi duduk yang tidak diperbolehkan, yaitu duduk Iq’a, yaitu duduknya anjing atau binatang buas. Diriwayatkan bahwa Sesungguhnya dilarang untuk duduk mendekur (iq’a) dalam shalat seperti iq’anya anjing (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah, Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 311)


Tetapi memang iq’a ini sebetulnya tidak tunggal posisi duduknya, sehingga ada posisi yang dibolehkan, ada yang tidak. Yang tidak adalah seperti duduknya anjing, di mana duduk dengan pantat menempel semua di lantai, sementara dua pahanya diangkat.

Sementara itu, ada satu posisi lain yang juga disebut iq’a, yaitu duduk di atas dua tumit di antara dua sujud dan duduk di atas telapak kaki. Ini adalah pendirian Imam Malik berdasarkan riwayat Ibnu Umar, yang mengatakan ia melakukan itu karena sakit. Sedangkan Ibnu Abbas mengatakan posisi ini adalah posisi duduk Nabi, menurut satu riwayat. (Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 312)

BERSAMBUNG...

Jumat, 18 Agustus 2017

SUNNAH HAI-AT DIDALAM SHALAT (2)

LANJUTAN...
OLEH USTADZ FATHURY AHZA MUMTHAZA




Sunnah Kelima,
menjaharkan (mengeraskan) bacaan pada tempatnya dan merendahkan suara (isror) pada tempatnya,
Sebagaimana kita tahu, mengeraskan bacaan seperti yang kita praktekkan adalah pada: shalat shubuh, dua raka’at awal shalat Maghrib dan Isya, shalat Jum’at, shalat dua hari raya, shalat gerhana bulan, shalat istisqo’, shalat tarawih, shalat witir di malam Romadlon, dan shalat thowaf di malam hari atau waktu shubuh.(At-Tadzhib, h. (56)

Dan dengan suara pertengahan atau tidak keras dan tidak isror untuk shalat mutlak di malam hari sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kamu keraskan atau kamu isrorkan dalam shalatmu, tetapi usahakanlah tengah-tengah di antara keduanya” (al Isra: 110), yang dimaksudkan adalah shalat malam. Dan shalat yang selain tersebut di atas di-isrorkan bacaannya.

Dalil yang menunjukkan demikian adalah hadits riwayat Bukhari (735) dan Muslim (463), dari Jubair bin Math’am ra. ia berkata: Saya mendengar Nabi saw. membaca di dalam shalat Maghrib surat at Thur.

Hadits riwayat Bukhari (733) dan Muslim (463), dari al Barro’ ra. ia berkata: Saya mendengar Nabi saw. membaca:  "والتين والزيتون" dalam shalat Isya, dan saya tidak mendengar seorangpun yang lebih baik dibanding suara beliau, atau bacaan beliau.

Dan hadits riwayat Bukhari (739) dan Muslim (449), dari Ibnu Abbas ra. tentang kehadliran jin dan usaha jin mendengarkan al Qur’an dari Nabi saw. di dalamnya, beliau sedang dalam shalat bersama para sahabat yakni shalat shubuh, ketika mereka (jin) mendengar al Qur’an, mereka memasang telinga terhadap bacaan beliau. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa beliau menjaharkan bacaan beliau sampai dapat didengar oleh yang hadir.

Dasar memelankan bacaan.Dan dalil yang menyatakan bacaan isror (suara rendah) adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (713) dari Khubab ra. ada seorang penanya: Apakah Rasulullah saw. membaca sesuatu ketika shalat dhuhur atau ashar? Ia menjawab: Ya. Kami bertanya: Dengan apa kalian mengetahui yang demikian itu? Ia menjawab: Dengan bergerak-geraknya jenggot beliau. 

Sunnah Keenam, mengucapkan “aamiin”,
Dasar dari membaca amin adalah Hadits riwayat Abu Dawud (934), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. apabila membaca:  "غير المغضوب عليهم ولا الضآلين" beliau mengucapkan: Aamiin, sampai didengar orang yang di belakang beliau dari shof pertama. Ibnu Majah menambahkan (853): Maka bergemalah masjid karenanya.

Dalam membaca amin disunahkan membacanya berbarengan dengan imam.

Diriwayatkan dari Abi Hurairoh ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Apabila imam membaca:  "غير المغضوب عليهم ولا الضآلين" maka ucapkanlah aamiin. Sseungguhnya barang barang siapa yang bertepatan dengan ucapan para malaikat, maka diampuni baginya dosanya yang telah lampau”. (HR Bukhari-Muslim).

Di dalam satu riwayat dari Abu Dawud (936): “Apabila imam mengucapkan aamiin, maka ucapkanlah aamiin..”.

Cara Membaca Amin

Ada beberapa dialek di dalam membaca amin.

Pertama, dengan memanjangkan hamzah dan tidak mentasydidkan mim. Ini mengikuti wazan faa’iil atau ketika kita membaca yaasiin. Karena itu dibaca آمِيْن

Kedua, dengan memendekkan hamzah dan tidak mentasydidkan mim. Ini seperti membaca lafadz yamiin. Karena itu dibaca أَمِيْن

Kedua bacaan ini sangat masyhur dan shahih (Tafsir Al-Qurtubi, juz 1, h. 197)

Ketiga dan keempat, yaitu bacaan dengan model kesatu dan kedua, tetapi membaca mim-nya diimalahkan, atau dimiringkan.

Kelima, yaitu bacaan dengan memanjangkan hamzah dan mentasydidkan mim. Bacaan terakhir ini ikhtilaf di antara ulama, ada yang membolehkan, ada yang tidak. (Tafsir Ibnu Katsir, h. 75 dan Al-Adzkar, h. 123). Sedangkan bacaan pertama hingga keempat dibolehkan, tetapi yang terpilih dan paling utama adalah bacaan pertama. 

Aturan Membaca Amin.
Ada beberapa dialek di dalam membaca amin.

Pertama, dengan memanjangkan hamzah dan tidak mentasydidkan mim. Ini mengikuti wazan faa’iil atau ketika kita membaca yaasiin. Karena itu dibaca آمِيْن

Kedua, dengan memendekkan hamzah dan tidak mentasydidkan mim. Ini seperti membaca lafadz yamiin. Karena itu dibaca أَمِيْن

Kedua bacaan ini sangat masyhur dan shahih (Tafsir Al-Qurtubi, juz 1, h. 197)
Ketiga dan keempat, yaitu bacaan dengan model kesatu dan kedua, tetapi membaca mim-nya diimalahkan, atau dimiringkan. Kelima, yaitu bacaan dengan memanjangkan hamzah dan mentasydidkan mim. Bacaan terakhir ini ikhtilaf di antara ulama, ada yang membolehkan, ada yang tidak. (Tafsir Ibnu Katsir, h. 75 dan Al-Adzkar, h. 123). Sedangkan bacaan pertama hingga keempat dibolehkan, tetapi yang terpilih dan paling utama adalah bacaan pertama. 
Dibaca Keras atau Pelan?

Madzhab Syafi’I dan Hambali sepakat bahwa membaca amin dikeraskan dalam shalat-shalat yang jahr atau mengeraskan bacaan, dan memelankan membaca amin pada shalat-shalat yang dibaca pelan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Sunnah yang Kelima.(Al-Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah, juz 1, h. 226). 
Sementara Madzhab Hanafi menegaskan bahwa membaca amin adalah dengan pelan, tidak boleh keras. Sebab amin adalah doa, dan disebutkan dalam Al-A’raf ayat 55 doa dilakukan dengan pelan. (Tafsir Al-Qurtubi, juz 1, h. 200)Madzhab Maliki memilih bahwa yang dianjurkan mengeraskan bacaan amin adalah bagi ma’mum dan orang yang shalat sendirian (munfarid), baik itu dalam shalat yang jahr maupun yang sir/asrar. Sementara imam sendiri hanya dianjurkan saat shalat yang sir/asrar saja. Pada shalat yang jahr, maka tidak perlu membaca amin.
Makna amin
Dalam beberapa riwayat dan tafsir ulama, paling tidak ada tiga makna amin. Pertama, sesuai pengertian yang diberikan oleh Rasulullah ketika ditanya oleh Ibnu Abbas terkait makna amin, beliau menjelaskan,  رب افعل maksudnya, Ya Tuhan, lakukanlah.

Kedua, makna amin, menurut mayoritas ahli ilmu adalah اللهم استجب لنا artinya, ya Allah kabulkanlah doa kami. Ketiga, menurut imam Tirmidzi, makna amin adalah  لا خيب رجاءنا yang artinya, jangan putuskan harapan kami. (Tafsir Al-Qurtubi, juz 1, h. 197)

Dari makna-makna ini kemudian dijelaskan bahwa amin sesungguhnya memiliki makna yang dalam. Di antaranya adalah bahwa, “Lafadz amin memiliki empat huruf. Dari setiap huruf itu Allah menciptakan empat malaikat, yang akan memintakan ampun bagi yang membacanya.” (Tafsir Al-Qurtubi, juz 1, h. 196, Al-Iqna, juz 1, h. 321). 
Dikatakan Abu Bakar menegaskan, amin adalah cap atau stempel Allah bagi hambanya, yang dengannya tertolak segenap bencana dan kerusakan. Atau dalam riwayat lain disebutkan, “Amin memiliki derajat di surga.” Maksudnya bahwa setiap hurufnya mengangkat derajat orang yang mengucapkan amin nanti di surga.Karena itulah, dari makna-makna ini maka sesungguhnya membaca amin dibutuhkan kekhusyu'an dan kesungguhan hati kita masing-masing dalam membacanya. Sebab ia doa. Ia juga adalah stempel Allah. Ia juga mampu mengangkat derajat orang yang membacanya. Ia juga harapan, agar segenap doa yang dipanjatkan dikabulkan oleh Allah SWT.

Sunnah  ketujuh adalah membaca surat al Qur’an sesudah al fatihah. Ini dibaca pada dua rakaat yang awal.

Di antara dasar dari sunnah ini adalah hadits riwayat Bukhari (745) dan Muslim (451), dari Abi Qotadah ra. bahwasanya Nabi saw. membaca  al Fatihah dan surat besertanya pada dua raka’at yang awal dari shalat Dhuhur dan Ashar. (At-Tadzhib, h. 60)

Adab membaca Surat dalam Shalat
Sebagaimana telah diajarkan oleh ulama, dalam membaca surat dalam shalat, maka dianjurkan urut sesuai letak surat. Misalnya ketika dalam raka’at Pertama membaca Adh-Dhuha, maka bacallah al-insyirah atau surat sesudahnya. Jangan pada rakaat Kedua membaca surat Al-A’la atau surat-surat yang letaknya sebelum adh-Dhuha. (At-Tibyan fi Adabi hamatil Qur’an, h. 95)
Hal ini berdasarkan bahwa peletakan urutan surat adalah tauqifi dari Allah SWT, karena itu selayaknya kita menjaga urut-urutan itu dalam membacanya. Tidak dibolak-balik semaunya. Sebab, dikatakan, ada hikmah di balik urut-urutan itu.Ibnu Mas’ud ketika ditanya, bagaimana ketika ada orang membaca Al-Qur’an dengan urutan terbalik? Ibnu Mas’ud menjawab, “Orang itu terbalik hatinya.” (At-Tibyan, h. 95).Di sisi lain, sesungguhnya dalam shalat, yang paling utama adalah membaca satu surat utuh dibanding membaca beberapa ayat meski panjang. Demikian pula, dianjurkan agar raka’at Pertama lebih panjang surat yang dibaca dibanding raka’at yang Kedua.
Dalam penjelasannya, Imam Nawawi menyebutkan, “Sunah membaca dalam shalat Subuh pada hari Jumaat sesudah Al-Fatihah pada rakaat pertama surat Alif Lam Mim Tanziil selengkapnya. Dan pada rakaat kedua membaca surat Al-Ihsan selengkapnya.”

Sunah membaca dalam shalat Jumat pada rakaat pertama surat Al-Jumu’ah selengkapnya dan pada rakaat kedua surat Al-Munafiquun selengkapnya juga. Jika dia menghendaki, bisa membaca surat Al-A’laa pada rakaat pertama dan membaca Surat Al-Ghaasyiyah pada rakaat kedua. Keduanya adalah riwayat yang sahih dari rasulullah saw.

Sunah dalam shalat Hari Raya membaca Surat Qaaf pada rakaat pertama dan membaca surat Iqtabatis Saa’atu selengkapnya pada rakaat kedua. Jika mau, dia bisa membaca surat Al-A’laa dan Al-Ghaasyiyah. Kedua riwayat itu sahih dari Rasulullah saw

Dibaca dalam dua rakaat shalat sunah Fajar sesudah Al-Fatihah yang pertama Qul Yaa Ayyuhal kaafiruun dan pada rakaat kedua Qul HuwAllahu Ahad. Keduanya sahih dari perbuatan Rasulullah saw.

Dalam shalat sunah Maghrib rakaat pertama, membaca Qul yaa ayyuhal kaafiruun dan
rakaat kedua Qul huwAllahu Ahad. Dan keduanya juga dibaca dalam dua rakaat Thawaf dan dua rakaat Istikharah.

Dan dalam shalat witir tiga rakaat, rakaat pertama membaca Sabbihisma rabbikal a’laa dan rakaat kedua Qul Yaa Ayyuhal kaafiruun serta rakaat ketiga Qul Huwallahu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain.

BERSAMBUNG...

Jumat, 11 Agustus 2017

SUNNAH HAI-AT DIDALAM SHALAT


OLEH USTADZ FATHURY AHZA MUMTHAZA
Sunnah haiat adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan kita tidak perlu sujud sahwi, karena itu masuk kategori ghairu muakkadah. Di sini ada lima belas, yaitu:


Pertama, mengangkat dua belah tangan ketika bertakbirotul ihrom, ketika ruku’, dan ketika bangun dari ruku’,
 

Bagaimana sesungguhnya posisi tangan saat takbir?
 Tidak semua kitab-kitab di bagian ini menjelaskan secara detail, karena memang tidak masuk rukun shalat atau bahkan sunnah ab'ad, yang jika ditinggal harus sujud sahwi. Keterangannya sebagian hanya menyebut mengangkat tangan saja saat takbir, sebagai hadist riwayat Ibnu Majah, yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban (Kifayatul Akhyar, h. 85). 

Baru dalam kitab yang lebih detail lagi, misalnya Al-Iqna, dijelaskan posisi tangan yang dicontohkan. Yaitu sesuai hadist Nabi, "Nabi mengangkat tangannya slaras dengan pundak saat permulaan shalat." (HR Bukhari, Muslim). Dalam Sharah Muslim, Imam Nawawi menjelaskan, yang dimaksud selaras dengan pundak (Hadzwi mankibaihi) adalah ujung-ujung jari lurus dengan daun telinga bagian atas, jari jempol dipaskan dengan daun telinga bagian bawah (tempat anting-anting), dan telapak tangan diluruskankan pundak. (Al-Iqna, juz 1, h. 299). 

Atau lebih detail lagi dalam Bidayatul Hidayah dijelaskan, jari-jari diregangkan, tapi jangan terlalu renggang, hindari untuk merapatkannya.Paskan jari jempol dengan telinga bagian bawah, sementara ujung-ujung jari sejajarkan dengan telinga atas, dan telapak tangan lurus dengan pundak. Maka jika sudah berposisi demikian, maka takbirlah (Bidayatul Hidayah, h. 47)
Memang, ada juga yang mengartikan hadist riwayat Bukhari Muslim di atas dengan meluruskan ujung jari-jari tangan dengan pundak. Karena itu, sebagai upaya al-jam'u, menggabungkan beberapa pengertian, maka mengangkat tangan ketika takbir batasnya adalah paling rendah lurus dengan pundak, dan paling tingginya adalah lurus dengan daun telinga. Nah, jika kurang atau melebihi batas ini maka tidak memenuhi batasan mengangkat tangan saat takbir, sehingga tidak mendapat kesunahan.


Hadits riwayat Bukhari (705) dan Muslim (390), dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Saya menyaksikan Nabi saw. membuka sholat dengan takbir, beliau mengangkat dua belah tangan beliau ketika bertakbir, sampai menjadikan dua belah tangan tersebut setinggi dua bahu beliau. Apabila bertakbir untuk ruku’ juga melakukan seperti itu, ketika mengucapkan:  "سمع الله لمن حمده" juga berbuat begitu, sambil mengucapkan: "ربنا ولك الحمد" , dan beliau tidak mengangkat dua belah tangan belaiu ketika sujud dan ketika bangun dari sujud.

Kedua, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, Berdasarkan hadits riwayat Muslim (401), dari Wa-il bin Hijri ra. bahwa dia menyaksikan Nabi saw. mengangkat dua tangan beliau ketika masuk pelaksanaan sholat, lalu beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri beliau.
Posisi Meletakkan Tangan Kanan Di Atas Tangan Kiri.

Dasar posisi ini adalah, sebagaimana telah disebutkan, yaitu hadist yang diriwayatkan dari Wa'il bin Hajar : “Aku melihat ketika Rasululloh saw.telah memulai shalat,tangan kananya memegang tangan kirinya“. (HR Ibnu Mundzir, Ibnu Khuzaiman, dan Abu Daud).

Dalam Nailul Authar, Juz 2, h. 187

وأخرج أبو داود أيضاً عن طاوس أنه قال: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى يَدِهِ اليُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بِهِمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ» وهو مرسل
Abu Daud meriwayatkan dari Thaawus ia berkata “Adalah Rasulullah SAW meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya kemudian menyekal keduanya diatas dadanya, dan beliau dalam keadaan shalat”

Ulama sepakat bahwa meletakkan tangan ini hukumnya sunnah. Hanya lokasi tangan saja yang sedikit berbeda. 
Pertama, madzhab Maliki dan Syafi’i. Disebutkan bahwa posisi tangan adalah di atas pusar dan di bawah dada. (Al-Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah, juz 1, h. 227, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, juz 3,hal. 310).

Khusus untuk Syafi’I telapak tangan agak diserongkan ke kiri.Imam Syafi’i menegaskan bahwa, “Tujuan meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri adalah agar kedua tangan tenang, bila melepasnya tidak terjadi main-main maka tidak bahaya, sedang hikmah diletakkan dibawah dada agar keduanya berada dibawah paling mulianya anggota tubuh manusia yaitu hati karena sesungguhnya ia berada di bawah dada.”

Kedua, madzhab Hanafi dan Hambali. Keduanya menegaskan bahwa posisi telapak tangan di bawah pusar. (Al-Fiqh ‘ala Madzahibil ‘Arba’ah, juz 1, h. 227). Bedanya jika hanafi membedakan khusus untuk perempuan, di mana letak tangan di dada, bukan di bawah pusar.

Ketiga, pendapat yang mengatakan letaknya di dada. Ini dikatakan bersumber dari Ash-shan’ani, Asy-Syaukani, Al-Mubarakfuri, dan Al-Albani. Mereka adalah ulama muta’akhkhirin, dan memang pendapat letak telapak tangan di atas dada tidak ditemukan dalam pendapat ulama-ulama salaf sebagaimana dijelaskan dalam berbagai rujukan.


Ketiga, bertawajjuh (membaca do’a iftitah), Hadits riwayat Muslim (771), dari Ali ra. dari Rasulullah saw., bahwasanya apabila sudah berdiri sholat beliau mengucapkan:   "وجهت وجهي للذى فطر السماوات والأرض حنيفا وما أنا من المشركين, إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي للـه رب العالمين, لا شريك له, وبذلك أمرت, وأنا من المسلمين"
(Saya hadapkan wajhku kehadlirat Tuhan Maha Pencipta langit dan bumi, teguh beragama, dan saya tidak termasuk golongan orang musyrik. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi Allah, oleh karena itu aku diperintah, dan aku termasuk orang yang berserah diri). 

Doa Iftitah di dalam Shalat

Imam Nawawi dalam Doa Iftitah di dalam Shalat

Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar, h. 96-99, menyebutkan doa-doa iftitah yang secara ma’tsurah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Paling tidak jika dikumpulkan lebih dari 13 doa merujuk riwayat-riwayat yang shahih dan ada juga beberapa yang dho’if. Satu doa merupakan penggabungan dari beberapa doa, sedangkan lainnya masih terpisah-pisah. Di sini akan disebut 13 saja.
Pertama, adalah doa iftitah yang disebut berasal dari penggabungan beberapa doa merujuk beberada hadist riwayat Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Nasaai, Sunan Turmuzi, Sunan Daraquthni dan Sunan Darimi, juga diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Hibban, dalam Kitab Sunan Al-Kubra Imam Baihaqqi, dalam Kitab Shahih Ibnu Khuzaimah, dalam Kitab Al-Mu’jamul Kabir Imam Thabarani, dalam Kitab Mustakhraj Abi ‘Awanah, dalam Masnad Imam Syafi’i, Masnad Imam Ahmad bin Hanbal, Masnad Abi Ya’la Al-Mawshuli dan Masnad Thayalisi, dalam Kitab Mashnaf Ibnu Abi Syaibah, dan dalam Kitab Al-Ahad Wal Matsani Ibnu Abi ‘Ashim

للهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا، وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنْ الْمُسْلِمِين
اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِي وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Kedua, doa yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ


Ketiga, riwayat Muslim
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا، وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي، وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ، اللهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي، وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي، وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا، إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Doa ini biasa dibaca Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam shalat fardhu dan shalat sunnah.

Keempat, riwayat Nasa’i
اللَّهِ أَكْبَرُ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ


Kelima, riwayat Nasa’I dan Ad-Daruquthni
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ. اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَعْمَالِ وَأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَقِنِي سَيِّئَ الْأَعْمَالِ وَسَيِّئَ الْأَخْلَاقِ لَا يَقِي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ


Keenam, riwayat .Abu Daud 1/124, An Nasa-i, 1/143, At Tirmidzi 2/9-10, Ad Darimi 1/282, Ibnu Maajah 1/268
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ تَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ


Doa ini juga diriwayatkan dari sahabat lain secara marfu’, yaitu dari ‘Aisyah, Anas bin Malik dan Jabir. Disebutkan riwayat ini dho’if.

Ketujuh, riwayat Abu Daud
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرَكَ

3x  لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
3x  اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا

Kedelapan, riwayat Muslim
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا


Kesembilan, riwayat Muslim
الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ



Kesepuluh, riwayat Bukhari dan Muslim
اللَّهُمَّ لَكَ الحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ لَكَ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ الحَقُّ وَوَعْدُكَ الحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ، وَقَوْلُكَ حَقٌّ، وَالجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالنَّبِيُّونَ حَقٌّ، وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ، اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ المُقَدِّمُ، وَأَنْتَ المُؤَخِّرُ، لاَ إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ


Doa istiftah ini sering dibaca Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam ketika shalat malam. Namun tetap masyru’ juga dibaca pada shalat wajib dan shalat yang lain.

Kesebelas, riwayat Muslim
اللهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ، وَمِيكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ


Doa istiftah ini juga sering dibaca Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam ketika shalat malam. Namun tetap masyru’ juga dibaca pada shalat wajib dan shalat yang lain.

Kedua belas, riwayat Ahmad dan Ath-Thabrani
10x الله اكبر

10x الحمد لله
10x لا اله الا الله
10x استغفر الله
10x اللهُمَّ اغْفِرْ لِي ،وَاهْدِنِي، وَارْزُقْنِي وَعَافِنِي
10x اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الضِّيقِ يَوْمَ الْحِسَابِ

Ketigabelas, riwayat Ath-Thayalisi dan Al-Baihaqi
اللَّهُ أَكْبَرُ [ثلاثاً] ، ذُو الْمَلَكُوتِ، وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ


Dalam penjelasannya, Imam Nawawi menyebutkan, dianjurkan untuk menggabungkan beberapa doa dari riwayat-riwayat ini, terutama bagi yang shalat sendirian. Sementara bagi imam, maka disesuaikan dengan kondisi makmumnya saja, di mana lebih baik jangan berpanjang-panjang.

Jika memilih meringkas, maka dianjurkan pilihlah minimal dengan yang ini:

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا، وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي، وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ, 
.

Keempat, isti’aadzah (membaca ta’awudz), Berdasarkan firman Allah ta’alaa: “Apabila engkau membaca al Qur’an, maka berlindunglah kamu kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk” (an Nahl: 98) 

Ta’awudz dalam Shalat

Makna lughawi maupun istilahi dari lafadz ini sama, yaitu minta perlindungan dari sesuatu yang tidak disukai. Isti’adzah bukan bagian dari ayat Al-Qur’an, tetapi ia dituntut dibaca saat membaca Al-Qur’an, termasuk saat shalat. Sesuai yang disebut dalam An-Nahl ayat 98. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Juz 4, h. 6).

Ulama sendiri, terbagi tiga kelompok dalam menempatkan ta’awudz.

Pertama, Jumhur atau mayoritas ulama menegaskan membaca ta’awudz adalah sebelum membaca Al-Qur’an. Sebab ayat di atas maksudnya adalah “ketika kita hendak membaca Al-Qur’an”.

Kedua, beberapa ulama, di antaranya, Hamzah, Ibnu Sirrin, Ibrahim An-Nakhai, dan disebut juga Malik bin Anas, dan dikatakan dinukil dari Abu Hurairah, bahwa membaca ta’awudz itu setelah membaca Al-Qur’an sesuai dengan dhahir ayat 98 An-Nahl, yang menggunakan kata kerja Fi’il madhi (yang menunjukkan telah membaca).

Ketiga, Imam Ar-Razi menyebutkan bahwa ta’awudz dianjurkan sebelum dan sesudah membaca Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam tafsirnya, tafsir Mafatihul Ghaib. (Tafsir Ibnu Katsir, h. 59).

Dari sini jelas, bahwa membaca Ta'awudz itu sebelum membaca Al-Qur'an atau Al-Fatihah ketika shalat, meskipun jika dibaca setelahnya juga tidak dilarang.

Lafadz ta’awudz ada beberapa bentuk:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ


Atau

أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ


atau

أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ


atau

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ


atau

أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ


Masing-masing ada sumber riwayatnya, tetapi yang paling kuat dan banyak riwayat dengan beberapa sanad adalah yang Pertama, yang biasa kita baca, yaitu "A’udzubillahi minasy syaithanir-rajiim”. Inilah bacaan ta’awudz yang paling banyak diriwayatkan dengan sanad yang shahih, dan dipegang oleh Syafii dan Abu Hanifah, dan mayoritas Ahli Qurra’ (ahli Al-Qur’an) dan selaras juga dengan redaksi dalam An-Nahl ayat 98.

Untuk di dalam shalat sendiri, Abu Hanifah dan Syafi’I menghukumi sunnah. Sedangkan Ahmad bin Hambal (Hambali), mewajibkannya. Sedangkan Malik bin Annas (Maliki) hanya membolehkannya di dalam shalat sunnah, dan memakruhkannya di dalam shalat wajib. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 4, h. 11)

Keras ataukah Pelan dalam Membaca Ta’awudz Ketika Shalat

Ada tiga pendapat. Abu Hanifah memilih membaca pelan, sesuai yang dinukil dari Ibnu Mas’ud. Imam Malik membolehkan dibaca keras. Sedangkan Imam Syafi’I membolehkan memilih antara keras dan pelan. Untuk pelan Imam Syafi’I merujuk pada kebiasaan Ibnu Umar, sedangkan untuk keras merujuk pada apa yang dilakukan Abu Hurairah. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, juz 4, h. 13)

Jadi, dalam prakteknya ketika shalat, ada yang membaca sir atau pelan. Atau dibolehkan juga keras. Tetapi hal ini disesuaikan kebiasaan di masjid tersebut, sehingga tidak menimbulkan kontroversi bagi yang belum memahami penjelasannya. 


Jumat, 04 Agustus 2017

FASAL SUNNAH YANG ADA DI DALAM SHALAT

 Oleh : Uztadz Fathury Ahza Mumthaza


Dua hal yang disunnahkan sesudah masuk dalam sholat:
Pertama, Tasyahud Awal.
Hal ini dasarkan pada hadist shahih, antara lain hadits riwayat al Bukhari (1167), “Bahwasanya Rasulullah saw. berdiri sesudah roka’at kedua dari sholat dhuhur, beliau tidak duduk (untuk tasyahud awal), ketika selesai sholat beliau sujud dua kali kemudian salam sesudah sujud.Dianjurkan untuk melakukan Sujud Sahwi disebabkan meninggalkan tasyahud awal karena lupa, menjadi dalil bahwa tasyahud awal hukumnya sunnat (sunnat penting).
Kedua, qunut pada shalat shubuh, dan dalam shalat witir di separuh kedua dari bulan Romadlon.
Hal ini didasarkan pada  Hadits riwayat al Hakim, dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. ketika  bangun dari ruku’ dalam sholat shubuh, pada roka’at kedua, beliau mengangkat dua belah tangan, lalu beliau berdoa’ dengan do’a ini:
 "اللهم اهدنى فيمن هديت …." (kitab al Mughni al Muhtaj, juz 1, h.166)

Sementara untuk qunut saat witir dasarnya adalah  Hadits riwayat Abu Dawud (1425), dari al Hasan bin Ali ra. ia berkata: Rasulullah saw. mengajari aku kalimat yang aku ucapkan di dalam sholat witir:
   "اللهم اهدنى فيمن هديت, وعافنى فيمن عافيت, وتولنى فيمن توليت, وبارك لى فيما أعطيت, وقنى شر ما قضيت, إنك تقضى ولا يقضى عليك, وإنه لا يذل من واليت, ولا يعز من عاديت, تباركت ربنا وتعاليت

(Yaa Allah tunjukilah aku kejalan orang yang Engkau beri petunjuk, dan sehatkanlah aku sebagaimana orang yang telah Engkau beri kesehatan, dan tolonglah aku sebagaimana orang-orang yang telah Engkau tolong, dan berkatilah aku dalam segala yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan jauhkanlah aku dari jahatnya apa saja yang Engkau putuskan. Engkau Maha penentu, dan bukat ditentukan oleh sesuatu, sesungguhnya tidak akan menjadi hina orang yang Engkau tolong, dan tidak akan mulya orang yang Engkau musuhi, Engkau Maha Pemberi berkat dan Engkau Maha Tinggi).

At Tirmidzy menyatakan (464) hadits ini hasan. Ia juga menyatakan: saya tidak tahu dari do’a qunut Nabi saw. dalam sholat witir yang lebih baik dari kalimat ini. Menurut riwayat Abu Dawud (1428) bahwasanya Ubai bin Ka’ab ra. menjadi imam – dalam sholat di bulan Romadlon – dia membaca qunut di seperdua yang akhir pada bulan Romadlon, dan perbuatan sahabat itu menjadi hujjah (dasar hukum) atas kesunnahan qunut, sehingga tidak layak diingkari.
Syarat-syarat Adzan
Sedikit menyambung pembahasan minggu lalu terkait adzan, kami rasa ini masih penting dibahas, yaitu terkait syarat-syarat adzan agar bisa kita ketahui bersama.


Adapun syarat-syarat adzan disebut ada beberapa, yaitu.
1.    Dikumandangkan saat masuk waktu shalat. Karena itu haram hukumnya untuk adzan sebelum waktunya. Namun di sini ada pengecualian, yaitu adzan sebelum waktu subuh, bahwa ini dibolehkan yaitu pada pertengahan malam kedua, dan juga pada saat Romadlon pada 1/6 terakhir malam. Dalil terkait ini adalah sebagaimana yang telah dilakukan Bilal dan Ibnu Ummi Maktum, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya (Al-Fiqh AL-Islami wa Adillatuhu, juz 1, h. 540)
2.    Harus dengan menggunakan bahasa Arab. Maka tidah sah hukumnya adzan dengan bahasa lain seperti bahasa Indonesia

3.    Disunnahkan adzan didengar oleh sebagian jama’ah. Karena itu harus lantang dan keras. Termasuk di sini bersuara indah

4.    Tertib atau urut lafadz yang diucapkan sesuai dengan yang telah disebutkan
5.    Dilakukan oleh satu orang. Karena itu dilarang adzan secara bergantian. Misalnya satu orang membaca takbir awal, lalu dilanjutkan orang lain dengan syahadatnya, dst. Tetapi jika adzan dilakukan oleh lebih dari satu orang dengan berbarengan, maka ini dibolehkan oleh jumhur, kecuali madzhab Maliki

6.    Muadzin harus laki-laki, muslim, dan berakal. Di sini dibolehkan adzan anak-anak yang sudah mumayyiz. Karena itu dilarang adzan oleh orang non muslim atau perempuan. Di sini tidak ada syarat muadzin harus sudah baligh atau ‘adil, karena itu sah adzan anak-anak atau orang fasiq, meski madzhab Maliki memakruhkan (Al-Fiqh AL-Islami, juz 1, h. 541-542).

Terkait Adzan 2 Kali dalam Shalat Jumat.
Adzan 2 kali dalam shalat saat ini masuk kategori masalah khilafiyah. Keterangan yang paling jelas soal ini adalah hadist yang diriwayatkan banyak perawi yang berbunyi:


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ إِنَّ الْأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرُوا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذِّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil berkata, telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah berkata, telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Az Zuhri berkata, Aku mendengar As Sa'ib bin Yazid berkata, "Pada mulanya adzan pada hari Jum'at dikumandangkan ketika Imam sudah duduk di atas mimbar. Yaitu apa yang biasa dipraktekkan sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar dan 'Umar? radliallahu 'anhu. Pada masa Khilafah 'Utsman bin 'Affan? radliallahu 'anhu ketika manusia sudah semakin banyak, maka pada hari Jum'at dia mememerintahkan adzan yang ketiga. Sehingga dikumandangkanlah adzan (ketiga) tersebut di Az Zaura'. Kemudian berlakulah urusan tersebut menjadi ketetapan."

Hadist ini diriwayatkan banyak perawi yaitu HR. al-Bukhari, jilid 2, hlm. 314, 316, 317, Abu Dawud, jilid 1, hlm. 171, an-Nasa`i, jilid 1, hlm. 297, at-Tirmidzi, jilid 2, hlm. 392 dan Ibnu Majah, jilid 1, hlm. 228. Juga diriwayatkan oleh asy-Syafi’i, Ibnul Jarud, al-Baihaqi, Ahmad, Ishaq, Ibnu Khuzaimah, ath-Thabrani, Ibnul Munzdir, dll.

Kitab-kitab kuning maupun putih juga sudah banyak membahas soal ini. Intinya bahwa adzan Jumat pada zaman Rasulullah hingga Khalifah Umar bin Khattab hanya sekali dan satunya iqamah (dulu disebut adzan juga). Baru kemudian pada zaman Khalifah Ustman dengan dasar, pertama, jumlah jamaah semakin banyak. Kedua karena jarak yang semakin jauh, maka kemudian ditambahkan satu kali adzan lagi sebagai pemberitahuan (i'lan) bahwa shalat Jumat akan segera dimulai.

Terkait soal adzan yang lebih sekali pada minggu lalu telah dibahas sekilas sesungguhnya. Bahwa dibolehkan adzan lebih sekali sebagaimana yang telah dicontohkan pada zaman Nabi dengan adanya Bilal dan Ibnu Ummi Maktum.

Oleh karena itu, terkait adzan dua kali saat shalat Jumat, keterangan yang cukup gamblang bisa dilihat di dalam Al-iqh Ala Madzahibil Arbaah juz 1, h. 432 dalam Bab Kapan Wajib Bersegera Menuju Shalat Jumat dan Haramnya Jual Beli? Adzan Kedua.

Dijelaskan, bahwa wajib hukumnya untuk bersegera hadir dalam shalat Jumat, sebagaimana bisa kita baca di dalam Surat Al-Jumuah 9, dan pada zaman Nabi Muhammad hanya kumandang adzanlah yang menjadi tanda dan pemberitahuan. Karena itu Utsman kemudian berijtihad dengan menambah adzan sekali saat khotib belum naik ke mimbar, sedangkan adzan sekali lagi saat khotib sudah naik ke mimbar. Dua-duanya dikumandangkan saat waktu shalat telah tiba.

Sebagaimana disebutkan di dalam hadist di atas, hal ini kemudian menjadi ketetapan sampai zaman-zaman sesudahnya fatsabatal amru ala dzalik.

Karena itu dikatakan, bahwa adzan dua kali ini tanpa ada keraguan adalah masyru atau ditetapkan sebagai syariat karena dimaksudkan sebagai pemberitahuan kepada jamaah yang jauh dan banyak sekali. Dan Ustman, termasuk sahabat-sahabat yang hidup pada zaman Ustman dan menyetujui terkait adzan 2 kali ini adalah di antara sahabat-sahabat paling utama yang memahami dasar-dasar agama yang beliau terima langsung dari Rasulullah. Karena itulah tidak disebutkan adanya perbedaan di antara ulama madzhab, terkait adzan 2 kali ini.

*Hukum Adzan Sambil Duduk?

Salah satu kesunahan di dalam melaksanakan adzan adalah berdiri. Dasarnya adalah hadist riwayat Bukhari, Muslim, dan Nasai "Berdirilah lalu adzanlah untuk shalat". (Talkhisul Habir juz 1 h. 203).

  Karena itu tidak dibolehkan adzan sambil duduk kecuali ada udzur. Sementara hukum adzan sambil duduk disebutkan makruh (Al-fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu juz 1 h. 542) seperti halnya membelakangi kiblat.

Kecuali adzannya untuk diri sendiri, maka itu dibolehkan sambil duduk, menurut madzhab Hanafi. Makruh juga hukumnya adzan di atas kendaraan saat bepergian. (Al-Mausuah Al-fiqhiyyah juz 2 h. 368)

Demikian semoga bermanfaat .






Wallaahu A'lam Bish Showaab.

Kamis, 03 Agustus 2017

SUNNAH-SUNNAH SEBELUM MASUK SHALAT, ADZAN DAN IQAMAH

Oleh : Uztadz Fathury Ahza Mumthaza
           Dalam kajian Rabu Online.

Adapun sunnah-sunnah yang kerjakan sebelum shalat itu ada dua, yaitu adzan dan iqamah.(At-Tadzhib, h. 53). Pensyariatan adzan dan iqamah ini didasarkan kepada Al-Qur’an, hadist, dan Ijma’. Adapun untuk dalil Al-Qur’annya bisa dilihat pada Al-Maidah ayat 58 dan AL-Jumu’ah ayat 9 (Kifayatul Akhyar, h. 91). 

Sedangkan sumber hadist terkait keduanya adalah hadits riwayat al Bukhari (602) dan Muslim (674). dari Malik Ibnu al Huwairits ra. bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Apabila waktu shalat sudah datang, maka hendaklah salah seorang dari kamu mengumandangkan adzan, dan hendaklah ada yang menjadi imam shalat yang tertua di antara kamu”.
Menurut riwayat Abu Dawud (499) dari Abdullah bin Zaid ra. “Apabila kamu iqomah untuk sholat ucapkanlah:  "الله أكبر الله أكبر …"

Adapun kalimat adzan sebagai berikut:
 "الله أكبر الله أكبر, الله أكبر الله أكبر,
 أشهد أن لا إله إلا الله أشهد أن لا إله إلا الله
,أشهد أن محمدا رسول الله أشهد أن محمدا رسول الله
,حي على الصلاة حي على الصلاح
حي على الفلاح حي على الفلاح
 الله أكبر الله أكبر, لا إله إلا الله" 

Dan digabungkan di dalam adzan shubuh kalimat:
 "الصلاة خير من النوم , الصلاة خير من النوم" sesudah: "
 حي على الفلاة,
" yang kedua.

Kalimat iqomah:
  "الله أكبر الله أكبر
, أشهد أن لا إله إلا الله
, أشهد أن محمدا رسول الله,
 حي على الصلاة,
 حي على الفلاة,
 قد قامت الصلاة قد قامت الصلاة,
 الله أكبر الله أكبر,
 لا إله إلا الله" .

Kalimat adzan dan iqomah sudah baku berdasarkan banyak hadits baik yang diriwayatkan oleh al Bukhary, Muslim dan lain-lain. Bagi orang yang mendengar adzan disunnatkan untuk mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan oleh muadzin.

Anjuran Berdoa Usai Adzan dan Iqamah
Apabila adzan sudah selesai disunnatkan membaca sholawat Nabi saw. dan berdo’a, dengan kalimat yang dijelaskan oleh hadits.

Hadits riwayat Muslim (384) dan lainnya, dari Abdullah bin Amer ra. bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apabila kamu mendengar seruan adzan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muadzin, lalu bersholawatlah untukku, sesungguhnya barang siapa yang mengucapkan sholawat kepada sekali, maka Allah akan memberikan shoawat kepadanya sepuluh kali, lalu mintakanlah kepada Allah wasilah untukku, sesungguhnya wasilah itu adalah suatu tempat di dalam surga, tidak ada yang pantas menempatinya, kecuali seorang hamba dari hamba Allah, dan aku berharap, bahwa akulah yang dimaksud, barang siapa yang memintakan kepada Allah wasilah untukku, maka dia berhak mendapatkan syafa’at”.

Hadits riwayat al Bukhari (589), dan lainnya, dari Jabir ra. bahwasanya Rasulullah saw.bersabdaL “Barang siapa yang ketika selesai mendengar adzan mengucapkan:
  "اللهم رب هذه الدعوة التامة والصلاة القائمة, آت محمدا الوسيلة والفضيلة, وابعثه مقاما محمودا الذى وعدته"
(Yaa Allah Tuhan pemilik seruan yang sempurna, dan sholat yang berdiri tegak, datangkanlah kepada Muhammad al wasilah dan fadlilah, dan bangkitkanlah beliau di tempat yang terpuji, sebagaimana yang telah Engkau janjikan kepada beliau).

Arti rangkaian kata-kata:

Da’watit tammah: seruan untuk bertauhid yang tidak pernah berobah dan tergantikan

_ Alfadlilah_: suatu martabat/kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan semua makhluk.

Maqooman mahmuuda: Terpuji orang yang menempati di dalamnya,

Alladzi wa’adtah: berdasarkan firman Allah: “Pasti Tuhanmu akan membangkitkan engkau di tempat terpuji” (AL-Isra ayat 79).

Dan disunnatkan pula bagi muadzin membaca sholawat kepada Nabi saw. dan berdo’a, dengan suara rendah dan ada tenggang waktu dengan adzan, agar orang tidak ragu atau menduga bahwa itu termasuk kalimat adzan.

Dikecualikan dari mengucapkan kalimat yang sama dengan muadzin, ketika mendengar: "حي على الصلاة"  dan  "حي على الفلاح" hendaknya pendengar mengucapkan:  "لا حول ولا قوة إلا بالله"  demikian diriwayatkan oleh al Bukhary (588) dan Muslim (385) dan lainnya. Dan apabila mendengar ucapan:  "الصلاة خير من النوم" pendengar mengucapkan:  "صدقت وبررت" (Engkau Maha benar dan Maha Pencipta).

Dan disunnatkan pula ketika mendengar iqomah, dan akhirannya, ketika mendengar ucapan:  "قد قامت الصلاة" hendaknya pendengar mengucapkan: "أقامها الله وأدامها" (Semoga Allah menegakkannya dan mengekalkannya).
ATURAN ADZAN DAN IQAMAH

Adzan dikumandangkan dengan suara yang lantang dengan bacaan yang pelan-pelan. Berbeda dengan iqamah yang dianjurkan agar dibaca cepat (Syarah Muqaddimah Al-Jazariyah, h. 219). Disebutkan bahwa tartil di dalam adzan juga disunnahkan. At-Taghanni atau melagukan dengan nada dan suara yang indah juga dibolehkan, asalkan tidak sampai merubah makna. Dan jika ini terjadi, maka diharamkan (Fiqh Sunnah, juz 1, h. 85).

Oleh karena itu aturan tentang adzan yang harus dipahami adalah. Pertama, antara kalimat pertama dan berikutnya ada jeda yang memungkinkan cukup waktu bagi yang mendengar adzan untuk menjawabnya.

Kedua, semua kalimat pada bagian akhir adalah termasuk bacaan mad 'aridh lissukun, kecuali bacaan takbir (Allaahu akbar), di mana panjangnya jika mengikuti aturan tajwid panjangnya adalah 6 harakat atau 3 alif. Namun, khusus untuk adzan ini ulama membolehkan lebih dari 3 alif, ada ulama yang membolehkan hingga 5 alif (10 harakat), atau ulama lain menyebut 7 alif (14 harakat). Jadi boleh mengumandangkan "hayya 'alash shalaah" pada kata "laah" lebih dari 2 kali lipat dibanding saat membaca mad 'aridh lissukun pada saat membaca Al-Qur'an.

Khusus untuk takbir sendiri boleh dibaca panjang saat membaca Allaahu, hingga 7 alif, yaitu saat takbir intiqal atau takbir selain takbiratil ihram pada saat shalat (Syarah Muqaddimah Al-Jazariyah, h. 220)

Ketiga, untuk "laa" pada kalimat "laa ilaha illaLlah", maka ia harus dibaca panjang antara 2-3 alif (4-6 harakat), karena ia termasuk bacaan Mad Jaiz Munfashil. Meskipun dalam membaca Mad Zaiz Munfashil ulama membolehkan 1 alif, 2 alif, dan 3 alif, tetapi oleh ulama, terutama yang mengikuti riwayat Imam Hafs, khusus untuk laa pada laa ilaha illallah, wajib hukumnya membaca panjang lebih dari satu alif. Karena itu ketika mengumandangkan laa, harus panjang.

Keempat, untuk lafadz ilaaha, maka pada huruf laa-nya hanya boleh satu alif tidak boleh lebih.

Kelima, meskipun boleh dibaca washal antara dua takbir, tetapi yang lebih utama adalah dibaca waqaf dalam setiap kalimat takbirnya, sehingga huruf ra'-nya dibaca tebal atau tafkhim, dengan getaran yang disamarkan atau halus, bukan kasar.

Keenam, mahkraj huruf juga harus sesuai dengan aturannya sehingga tidak merubah satu atau dua huruf yang mengakibatkan berubahnya makna adzan yang dikumandangkan.
ADZAN DAN IQAMAH UNTUK SELAIN SHALAT FARDLU

Adzan makna secara lughawinya adalah al-i’lam atau pemberitahuan. Tetapi makna ini mengandung makna lebih luas lagi, yaitu adzan juga adalah An-nida’ atau panggilan, ad-du’a (doa, minta sesuatu kepada Allah), dan thalabul iqbal (mohon perkenan atau izin). Makna ini selaras dengan kalimat-kalimat di dalam adzan yang terdiri dari takbir, syahadat, hai’alatani (hayya ‘alash-shalah dan hayya ‘alal falah), dan tatswib (ash-shalaatu khairun minan naum, khusus shubuh). Dari kalimat-kalimat ini hanya hai’alataini yang bermakna ajakan, sedangkan yang lain adalah pujian kepada Allah, pernyataan keimanan, dan nasehat untuk mendahulukan shalat. Karena itulah dari lafadznya, adzan memiliki makna yang luas, sebagaimana disebutkan di awal.(Al-Mausu'ah Al-Fiwhiyyah, juz 2, h. 357)

Adzan dan iqamah pada dasarnya memang diperuntukkan untuk panggilan dan pemberitahuan pada shalat-shalat fardlu. Sedangkan untuk shalat seperti 'Id, gerhana, Istisqa, dan Tarawih panggilannya adalah dengan Ash-shalaatu jaami'ah (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 2, h. 371). 
Meski demikian, Madzhab Syafi'i dan sebagian madzhab Maliki memperluas penggunaan adzan untuk hal-hal lain karena tabarrukan (mengambil barakah), meminta pertolongan Allah (isti'naas) dan dengan diqiyaskan berdasarkan beberapa dalil.
Pertama hadist Shahih riwayat Abu Rafi, "Aku melihat Nabi mengadzani telinga Hasan saat dilahirkan oleh Fathimah." (HR Tirmidzi). 
Kedua Hadist "Siapa saja yang baginya lahir seorang anak, maka adzankanlah di telinga sebelah kanan, dan iqamahlah disebelah kiri, maka Ummush Shibyan (sebutan orang Arab untuk makhluk sebangsa kuntilanak) tidak akan membahayakannya." (HR Abu Ya'la dan Tirmidzi). Hadist Shahih riwayat Abu Hurairah, "Nabi bersabda, "Ketika terdengar panggilan shalat (adzan), maka Syaitan lari terbirit..." (HR Mutafaq Alaihi atau Bukhari Muslim)                       

Dari dalil-dalil ini tampak jelas bahwa Nabi menyebutkan fungsi adzan yang di luar panggilan shalat, di mana syaitan akan lari tunggang langgang dan gangguan lain juga terhindari. Karena itulah adzan disebut sebagai bagian dari amal utama yang mendekatkan diri kepada Allah, di mana ia memiliki keutamaan dan diberi pahala yang besar bagi yang melafalkannya. Hadist perihal ini cukup banyak, dan insyaallah dibahas khusus nanti pada fasal Adzan, termasuk posisi muadzin yang sangat mulia di sisi Allah, menjadi salah satu dari sedikit manusia yang diistimewakan Allah saat di akhirat nanti.

Karena itulah kemudian para ulama menganjurkan membaca adzan dalam kondisi-kondisi tertentu. Di antaranya saat anak lahir, kebakaran, hujan lebat dan angin kencang, tersesat, jin atau binatang yang sedang ngamuk, saat marah, dan saat menguburkan mayit.

Khusus perihal adzan dan iqamah bagi mayit yang sedang dikuburkan memang di antara ulama terjadi ikhtilaf. Artinya ada yang menganjurkan ada yang tidak. Tetapi mengutip pendapat Imam Ibnu Hajar bahwa mengadzani mayit itu dianjurkan karena akan meringankan mayit dalam menjawab pertanyaan malaikat di alam barzakh nanti (Hasyiyah AlBaijuri, juz 1, h. 209).
 beberapa pertanyaan:

1. Bagaimana shalat qabliyah, lalu iqamah dikumandangkan? 
2. Takbir bisa memadamkan api? 
3. Adzan jika ada angin besar? 
4. Adzan sebelum shalat subuh? 
5. Bolehkah adzan melepas pengantin pindahan rumah dll? 
6. Panjang harokat adzan saat mengadzankan mayit? 
7. Terkait shalat sunnah wudlu beserta hadistnya?  
Pertama karena ada kesamaan pertanyaan yaitu adzan apakah dianjurkan saat ada angin besar, melepas pengantin pindahan rumah, dan seterusnya. Keterangan yang cukup runtut bisa dibaca dalam Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu juz 1 h. 562.

Intinya disebutkan bahwa adzan ini dimaksudkan untuk mengusir atau menghilangkan keburukan-keburukan kondisi tersebut, termasuk kondisi-kondisi lain yang belum disebutkan yaitu pindahan rumah. Sehingga meskipun ada angin besar atau kebakaran tetapi tidak sampai menimbulkan kerugian. Karena dengan adzan dikumandangkan dipastikan syetan lari terbirit-birit sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah.
Dijelaskan bahwa adzan dianjurkan saat terjadi kebakaran, peperangan, dan mengiringi musafir. Termasuk juga menghadapi orang yang sedang ayan (epilepsi), saat tersesat, saat ada gangguan jin, marah, atau orang yang perangainya buruk dst.
Kedua, apakah takbir bisa memadamkan api? Keterangan soal ini saya belum menemukan. Tetapi jika adzan yang dikumandangkan, iya. Tetapi tidak semata-mata memadamkan, tetapi penghilangkan dampak buruk dari api itu.
Ketiga panjang harokat adzan selain untuk shalat? Terkait soal panjang pendek sebetulnya tinggal mengikuti aturan tajwidnya. Ada cara membaca tartil, di mana membacanya dengan pelan dan panjang. Ada yang disebut dengan at-tadwir dimana bacaannya sedang-sedang saja atau terakhir al-hadr baca cepat.

Nah, adzan dengan al-hadr bisa saja di luar. Artinya adzannya tidak mengalun panjang seperti adzan-adzan biasanya. Yang jelas aturannya di sini adalah kumandang adzannya harus lebih lambat dari iqamahnya. Itu aturan antara adzan dan iqamah. Jadi iqamahnya lebih cepat dibanding adzannya. Nah panjang adzannya berapa? Lihat kembali aturan tajwidnya .

Keempat, bagaimana hukum adzan tengah malam?

Hadist terkait hal ini sangat jelas sebetulnya yaitu إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُو

Arti hadist ini adalah Sesungguhnya Bilal bin Rabbah adzan saat malam. Maka makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum adzan (subuh). Hadist ini riwayat Ibnu Umar (HR Bukhari dan Muslim, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu juz 1 h. 552)

Karena itulah sesungguhnya ulama menegaskan bahwa adzan sebelum subuh itu disunahkan sebagaimana yang dikumandangkan oleh Bilal pada zaman Nabi. Hanya madzhab Hanbali saja yang mengatakan bahwa adzan sebelum subuh makruh saat Romadlon karena dikhawatirkan membingungkan umat Islam.

Jumhur ulama mengatakan disunnahkan untuk shalat jamaah ada dua muadzin yang adzan masing-masing sebagaimana yang dipraktekkan Nabi dengan adanya Bilal bin Rabbah dan Ibnu Ummi Maktum. Lebih jauh lagi jika dibutuhkan ada 4 muadzin yang adzan dalam waktu berbeda sebagaimana yang terjadi pada zaman Khaliah Ustman.

OLeh karena itu, sebetulnya hukumnya sunnah jika ada dua muadzin dalam satu masjid, misalnya, adzan di waktu yang berbeda. Karena dengan demikian semakin menguatkan panggilan shalat (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu juz 1 h. 549).
Wallahu a'lam Bish showaab, Semoga bermanfaa