Home

TAFSIR JALALAIN 1 Jumadil Akhir 1437 H/ 20 Maret 2016

Rangkuman pengajian Ahad pagi Majlis Taklim Tafsir Jalalain Tempat : musholla Al-Muhajirin, Puri Harmoni 1 Tgl          : 11 jumadil ak...

Jumat, 12 Agustus 2016

MAJLIS TA’LIM TAFSIR JALALAIN RANGKUMAN TA’LIM ONLINE HARI RABU

UZTADZ FATHURI AHZA MUMTHAZA 

RANGKUMAN TA’LIM ONLINE HARI RABU
7 Dzul Qo’dah 1437 H/ 10 Agustus 2016
Kitab rujukan : "ATTADZHIB FI ADILLATIL GHAYATI WATAQRIB"
Nara Sumber : Ust. Fathuri.
Fasal Hal-Hal yang Membatalkan Wudlu.
Adapun yang membatalkan wudlu ada 6 perkara:
1. Apa saja yang keluar dari dua jalan.
2. Tidur dalam kondisi duduk tidak mantap.
3. Hilangnya akal disebabkan oleh mabuk dan sakit.
4. Persentuhan antara kulit pria dan wanita yang bukan muhrim, tanpa penghalang.
5. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan.
6. Menyentuh lubang dubur manusia. 

Penjelasan :
pertama, apa saja yang keluar dari dua jalan. Di sini yang dimaksud adalah BAB, baik buang air kecil, maupun buang air besar. Ada keterangan lain menyebutkan bahwa menahan BAB saat shalat, misalnya menahan kentut atau kencing, itu hukumnya makruh, bahkan ada yang mengharamkan, meski shalatnya tetap sah, terutama waktu shalat masih longgar. Dasarnya adalah لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْاَخْبَثَانِ        Artinya: “Tidak ada shalat di hadapan makanan, begitu juga tidak ada shalat sedang ia menahan air kencing dan air besar (al-akhbatsani)”. (H.R. Muslim)
Kedua, Tidur dalam kondisi duduk tidak mantap. Artinya, (maaf) pantat tidak tertutup. Karena itu, jika saat mendengar khutbah Jum'at dan tertidur dengan posisi pantat terangkat, maka dianggap batal wudlunya. Posisi duduk yang disebut tidak membatalkan adalah posisi bersila. Selain posisi ini bisa membatalkan wudlu. Di antaranya adalah tidur dalam posisi miring. Dalilnya adalah "Wudlu waijib dilaksanakan oleh orang yang tidurnya miring (HR Abu Daud, Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 65). Atau duduk dengan bersila, tetapi kaki satu diangkat. Demikian pula duduk seperti dalam tasyahud, ini juga bisa membatalkan wudlu.
Ketiga, hilangnya akal disebabkan oleh mabuk dan sakit. Misalnya pingsan, koma, atau yang semacamnya.
Keempat, persentuhan antara kulit pria dan wanita yang bukan muhrim, tanpa penghalang. Di sini ada yang membedakan antara yang menyentuh dan disentuh. Dikatakan, yang menyentuh itu batal, sedangkan yang disentuh tidak.
Kelima, menyentuh kemaluan dengan telapak tangan. Kemaluan di sini bagi pria berrarti dzakarnya, sedangkan telurnya tidak termasuk.
Keenam, menyentuh lubang dubur manusia (ini adalah pendapat Imam Syafi'i yang baru (qaul jadid, saat di Mesir)

TANYA JAWAB :
Pertanyaan 1. dari Ust. Sahlun : 

Afwan para guru, perihal yang menyentuh dan disentuh di atas, masih musykil... Mohon penjelasan lebih luas....syukron
Jawaba :
Berkaitan dengan disentuh dan menyentuh, di mana yang menyentuh batal sedang yang disentuh tidak batal, adalah qaul atau pendapat Syafi'i yang dijelaskan Ibnu Rusd dalam Bidayatul Mujtahid, juz 2, h. 66. Maksudnya, persentuhan laki dan perempuan yang disengaja, itu dianggap hanya membatalkan bagi yang sengaja menyentuh, sedangkan yang disentuh itu tidak batal
Lebih jauh An-Nawawi dalam Al-Majmu' menyebutkan bahwa para ulama bahkan sahabat sendiri memang ikhtilaf berkaitan soal menyentuh antara laki dan perempuan kaitannya dengan batalnya wudlu. Paling tidak An-Nawawi menyebut ada 7 pendapat yang cukup panjang beliau jelaskan di Al-Majmu, Juz 2, 26-38. Namun, kalau disebutkan semua pendapat-pendapat itu kemungkinan akan membingungkan dalam mencerna dan mempraktekannya. Karena itu dipilihkan keterangan yang perlu saja
Di antaranya, jika yang disentuh itu adalah bagian tubuh yang sudah terpisah dari pemiliknya, atau yang disentuh atau adalah rambut, kuku, dan gigi, maka tidak membatalkan wudlu. Demikian pula, menambahkan keterangan dalam Bidayatul Mujtahid di atas, bahwa jika ada dua orang yang dalam satu gerakan terjadi persentuhan, maka yang batal adalah orang yang sengaja menyentuh, sementara bagi yang disentuh dianggap tidak batal. Hal ini didasarkan pada tafsir penggalan ayat au lamastumunnisaa (Al-Maidah ayat 6), yang artinya Kalian menyentuh wanita, dengan bentuk fi'il أَوۡ لَـٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ
Berbeda jika dengan bentuk wazan fi'il dengan tambahan alif setelah lam, أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ, maka ini artinya yang batal keduanya.
Dua-duanya adalah pendapat madzhab Syafi'i, dan dua qira'ah ini digunakan kedua-duanya pula...
Tetapi memang pendapat yang dipegangi mayoritas adalah dua-duanya batal, dengan mendasarkan pada qira'ah yang memanjangkan di dalam membaca lam pada lafadz au laamastumunnisa'a...

Pertnyaan 2 dari Ust. Didi Sunardi: 


Assalamu'alaikum Wr.wb, Ustdz maaf bertanya
 أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
Maksudnya bersentuhan kulit atau berjima' ?
Jawaban :
Berkaitan dengan pertanyaan Ust Didi dan sekaligus menguraikan hal-hal yang membatalkan wudlu, mungkin kita perlu meneliti makna wudlu yang sesungguhnya dan posisinya dalam syariat Islam. Secara sederhana wudlu adalah Mensucikan diri dengan membersihkan 4 anggota tubuh wajib (wajah, tangan, kepala, dan kaki) dan beberapa anggota tubuh sunnah (mulut, hidung, dan telinga, Imam Al-Ghazali menambahkan tengkuk) disertai niat lillaahi ta'ala.
Artinya dengan pengertian ini kita memahami bahwa wudlu adalah wujud ketaatan kepada Allah dan menjadi syarat dalam banyak sekali ibadah. Karena itu hukum wudlu sendiri bisa dibagi menjadi beberapa kriteria. Pertama, wudlu wajib/fardlu, yaitu ketika akan mengerjakan shalat, memegang mushaf, atau thawaf. Kedua, wudlu sunnah, yaitu untuk membaca atau belajar kitab-kitab tafsir, hadist, fiqh dst, tidur (agar tidur dalam kondisi suci), membaca Al-Qur'an, sebelum mandi junub, atau hendal adzan dan iqamat, serta setelah memandikan mayit atau mengusungnya. Wudlu juga disunnahkan usai kita marah, melakukan dosa seperti bohong dst, atau baru saja dari tempat ramai, di mana kita dimungkinkan bersentuhan dengan banyak orang
Sebaliknya, wudlu bisa menjadi makruh, jika kita wudlu, padahal kita sudah wudlu tetapi belum melakukan ibadah seperti shalat dll. Atau bahkan wudlu menjadi haram jika air yang digunakan adalah hasil ghashab atau mencuri air orang lain, atau berasal dari airnya anak yatim. Bahkan Hambali menegaskan wudlu dengan air ghashab, itu tidak sah hukumnya. Artinya, untuk shalat, menjadi batal seketika.

 (Lihat, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 1, h. 207-212). 

Karena itu tampak di sini bahwa wudlu berkaitan dengan kebersihan anggota tubuh, kebersihan hati, dan kebersihan pikiran. Makanya tak mengherankan jika ada riwayat mengatakan bahwa setiap tetes air wudlu, turut pula menjatuhkan dosa-dosa, karena dimensi wudlu yang tak tersekat sekedar fisik.
Karena itu, sebagai perbuatan suci, yang merusaknya pun adalah perbuatan yang dianggap perbuatan buruk, bisa diteliti dalam 6 perkara yang telah disebutkan di atas, yang jika dikerucutkan menjadi tiga, yaitu badan yang menjadi najis (keluarnya najis dari dua jalan), pikiran yang alpa (tidur, mabuk atau pingsan), dan hati yang terkotori (bersentuhan dengan lawan jenis, memegang kemaluan, baik depan maupun belakang)
Karena itulah, menyambung pada pertanyaan Ust Didi, bukanlah laamastumunnisa'a diartikan dengan jima', bukan sekedar menyentuh?
Perdebatan ulama terkait hal ini sungguhlah seru. Makanya di atas kami menyebutkan dalam Al-Majmu, Imam Nawawi menguraikan panjang lebar 7 pendapat berkaitan dengan makna laamastumunnisa ini. Untuk menyederhanakan, kami petakan menjadi tiga pendapat saja, yaitu pendapat pertama, sebagaimana telah dituliskan sebelumnya, menurut Imam Syafi'i, yaitu cukup bersentuhan saja, asal langsung, bukan muhrim, sudah membatalkan wudlu, meskipun belum baligh, baru muayyiz. Pendapat kedua, yang membatalkan wudlu adalah sentuhan yang disertai ladzzah (kenikmatan, menurut Maliki) atau shahwat (birahi, menurut Hambali). Karena itu meski tidak langsung nempel, tapi timbul birahi, maka batallah wudlunya, dan tentu ini dengan jenis yang sudah baligh dan muda (anak kecil dan tua renta tidak termasuk). Ketiga, bersentuhan meski dengan shahwat tidak membatalkan, karena yang membatalkan wudlu adalah jima'. Ini didasarkan pada pengertian laamastumunnisa adalah berhubungan badan. Inilah pendapat Hanafi
Dan sudah mafhum di antara para ahli fiqh bahwa di antara 4 madzhab ini, Madzhab Syafi'i yang memiliki tingkat ihthiyat atau kehati-hatian lebih dibanding madzhab yang lain. Apalagi memang secara bahasa lafadz laamasa ini masuk kategori musytarak, yaitu satu kata memiliki lebih dari satu makna. Atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan kata majemuk. Dan di kalangan ahli ushul, kedua-duanya shahih digunakan, seperti lafadh quru' dalam Al-Baqarah ayat 228, di mana Imam Syafi'i menggunakan makna suci, sedangkan Imam ABu Hanifah memaknai dengan haidh. Pendapat keduanya, tidak saling menafikan
Lebih luas lagi ulama menambahkan, hal lain yang membatalkan wudlu, tetapi tidak disepakati semua ulama. Di antaranya memakan daging unta (menurut Madzhab Hambali), tertawa di dalam shalat (madzhab Hanafi), selesai memandikan mayat (Hambali), dan ghibah (ngrasani orang) atau bicara kotor (Hambali). Karena itu, hal-hal seperti ini juga menjadi warning agar dijauhi bagi yang sudah wudlu, agar tetap lestari kesucian dan kesempurnaan wudlunya. Atau jika habis makan, sebaiknya sikat gigi sesudahnya, sebelum shalat, agar kondisi mulut tetap bersih. Demikian pula, meski ada peristiwa yang mengundang tawa, tahanlah itu ketika shalat, sebab yang pasti membatalkan shalat. Membicarakan kejelekan orang atau mulut kita digunakan untuk bicara kotor atau tidak benar, maka jika tidak wudlu lagi, maka bersihkanlah dengan berkumur, agar membersihkan mulut kita kembali sehingga shalat atau membaca Al-Qur'an yang dilakukan lebih khusyu' dan mantap
Ust.  Didi Sunardi:
Jika saya mencermati penjelasan Ustadz di atas, setidaknya ada dua makna wudhu, makna dhohiri makna bathini, dalam makna dhohiri maka wudhu berarti membersihkan jasmani kita khususnya yang bersentuhan dengan dunia luar, setidaknya 5 x sehari kita membersihkan telapak tangan agar apa yang kita sentuh bersih, mulut berkumur dan bersiwak agar mulut selalu bersih dari kuman, menghisap air ke hidung untuk membersihkan polusi yang tersaring di rongga hidung, muka dibasuh agar bersih dari debu dan kotoran jalanan, demikian juga dengan membasuh tangan, mengusap rambut, dan kaki.
Makna bathini wudhu adalah simbol kebersihan ruhani, membasuh mulut adalah simbol agar apa yang keluar dari mulut kita adalah kata-kata yang menyejukan lawan bicara, membasuh hidung sebagai simbol bahwa seorang muslim tidak perlu mengetahui aib orang lain, muka dibasuh sebagi simbol muka kita harus selalu berseri, sumringah ketika bertemu dengan saudara muslim yang lain, demikian juga dengan basuhan anggota wudhu yang lain sarat dengan makna ruhani.

Ust. Fathuri :
Dari cara memperoleh air, harus tidak boleh ghashab atau mencuri, menggunakannya tidak boleh boros (meski wudlu di lautan sekalipun), dan ketika sedang melakukan wudlu adalah membersihkan anggota tubuh secara fisik maupun batin, sebagaimana yang Ust Didi tuliskan. Pun demikian, jika kita ingin wudlu kita tetap terjaga alias tidak batal, maka fisik, hati, dan pikiran pun harus tetap bersih dan terjaga.

Pertanyaan 4 dari Pak  Wawan Triyono: Assalamu'alaikum.
 Apa hukumnya menahan hajat diakhir sholat ?
Apakah Harus dbatalkan sholatnya?
Jawaban pertanyaaan 3 :
Wa'alaikumussalam Pak Wawan. Tentu tidak, sebab shalatnya tetap sah, hanya saja dimakruhkan. Kalau ingin buang hajat, hajatnya muncul di tengah shalat, diteruskan saja selama masih bisa konsentrasi. Tapi kalau tak tahan, dan waktu masih longgar, mending dibatalkan. Sebab berusaha ditahan, pada akhirnya jebol juga, di samping tidak bisa konsentrasi atau khusyuk dalam shalatnya.
Berbeda jika buang hajatnya sebelum shalat, sebaiknya buang hajat dulu. Ketinggalan satu rakaat jama'ah ga masalah, sebab nilai shalat juga sangat ditentukan oleh kekhusyu'an kita menjalankannya.
Demikian Wallaahu a'lam Bishowaab.

 Ustadz Hilman Sholih ( Notulen )







Senin, 08 Agustus 2016

TAFSIR JALALAIN DI MASJID AS-SA'ADAH DUTA MEKAR ASRI

AHAD 27 SYAWAL 1437H / 31 JULY 2016M

KH SLAMET AZIS ZEIN
أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلا      (٢٤) - See more at: http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-al-furqan-ayat-21-34.html#sthash.jYFl88hT.dpuf
أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلا      (٢٤) - See more at: http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-al-furqan-ayat-21-34.html#sthash.jYFl88hT.dpuf

أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلا  Ayat 24
Artinya :

Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.       
أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلا      (٢٤) - See more at: http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-al-furqan-ayat-21-34.html#sthash.jYFl88hT.dpuf

«أصحاب الجنة يومئذ» يوم القيامة «خير مستقرا» من الكافرين في الدنيا «وأحسن مقيلا» منهم أي موضع قائلة فيها وهي الاستراحة نصف النهار في الحر وأخذ من ذلك انقضاء الحساب في نصف نهار كما ورد في الحديث
Artinya :

(Penghuni-penghuni surga pada hari itu) di hari kiamat (paling baik tempat tinggalnya) lebih baik daripada tempat tinggal orang-orang kafir sewaktu di dunia (dan paling indah tempat istirahatnya) lebih indah daripada tempat istirahat mereka sewaktu di dunia. Lafal Maqiila artinya tempat untuk beristirahat di tengah hari yang panas. Kemudian dari pengertian ini dapat diambil kesimpulan makna tentang selesainya masa perhitungan amal perbuatan, yaitu di waktu tengah hari, hanya memakan waktu setengah hari, seperti yang telah disebutkan di dalam hadis.
وَيَوْمَ تَشَقَّقُ السَّمَاءُ بِالْغَمَامِ وَنُزِّلَ الْمَلائِكَةُ تَنْزِيل  Ayat 25
Artinya :
 Dan (ingatlah) pada hari (ketika) langit pecah mengeluarkan awan putih dan para malaikat diturunkan secara bergelombang.  
 ويوم تشقق السماء» كل سماء «بالغمام» معه وهو غيم أبيض «ونزل الملائكة» من كل سماء «تنزيلا» هو يوم القيامة ونصبه باذكر مقدرا وفي قراءة بتشديد شين تشقق بإدغام التاء الثانية في الأصل فيها وفي أخرى ننزل بنونين الثانية ساكنة وضم اللام ونصب الملائكة
   Artinya :
(Dan ingatlah di hari ketika langit pecah) yaitu semua langit (mengeluarkan kabut) seraya mengeluarkan kabut yang berwarna putih (dan diturunkan Malaikat) dari setiap lapisan langit (bergelombang-gelombang) pada hari kiamat itu. Dinashabkannya lafal Yauma karena pada sebelumnya diperkirakan ada lafal Udzkur. Menurut qiraat yang lain lafal Tasyaqqaqu dibaca Tasysyaqqaqu dengan ditasydidkannya huruf Syin yang diambil dari asal kata Tatasyaqqaqu. Kemudian huruf Ta yang kedua diganti menjadi Syin lalu diidgamkan kepada Syin yang kedua sehingga menjadi Tasysyaqqaqu. Sedangkan menurut qiraat yang lainnya lagi lafal Nuzzila dibaca Nunzilu dan lafal Al Malaaikatu dibaca Al Malaaikata, sehingga bacaan lengkapnya menurut qiraat ini menjadi Nunzilul Malaaikata, artinya, Kami menurunkan Malaikat-malaikat.         
 
الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمَنِ وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا Ayat 26
Artinya :
Kerajaan yang hak pada hari itu adalah milik Tuhan Yang Maha Pengasih. Dan itulah hari yang
sulit bagi orang-orang kafir.

«الملك يومئذ الحق للرحمن» لا يشركه فيه أحد «وكان» اليوم «يوما على الكافرين عسيرا» بخلاف المؤمنين
 
Artinya:
(Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Allah Yang Maha Pemurah) tiada seorang pun yang menyaingi-Nya dalam hal ini. (Dan adalah) hari itu (satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir) berbeda dengan keadaan orang-orang yang beriman.



Kajian kitab Mukhtarul Alhadits

  اطلبوا المعروف من رحماء أمتي ، تعيشوا في أكنافهم ، و لا تطلبوه من
القاسية قلوبهم ، فإن اللعنة تنزل عليهم ، يا علي ! إن الله تعالى خلق المعروف
و خلق له أهلا ، فحببه إليهم و حبب إليهم فعاله و وجه إليهم طلابه ، كما وجه
الماء في الأرض الجدبة لتحيى به ، و يحيى بها أهلها ، يا علي ! إن أهل المعروف
في الدنيا هم أهل المعروف في الآخرة
اطْلُبُوا الْمَعْرُوفَ مِنْ رُحَمَاءَ أُمَّتِي تَعِيشُوا فِي أَكْنَافِهِمْ، وَلَا تَطْلُبُوهُ مِنَ الْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ فَإِنَّ اللَّعْنَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهِمْ



Carilah kebaikan dari umatku yang memiliki kasih sayang, maka engkau akan hidup dalam kemuliaan, dan janganlah mencarinya dari orang-orang yang keras hatinya, karena laknat akan turun kepada mereka.”