Home

TAFSIR JALALAIN 1 Jumadil Akhir 1437 H/ 20 Maret 2016

Rangkuman pengajian Ahad pagi Majlis Taklim Tafsir Jalalain Tempat : musholla Al-Muhajirin, Puri Harmoni 1 Tgl          : 11 jumadil ak...

Jumat, 11 Agustus 2017

SUNNAH HAI-AT DIDALAM SHALAT


OLEH USTADZ FATHURY AHZA MUMTHAZA
Sunnah haiat adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan kita tidak perlu sujud sahwi, karena itu masuk kategori ghairu muakkadah. Di sini ada lima belas, yaitu:


Pertama, mengangkat dua belah tangan ketika bertakbirotul ihrom, ketika ruku’, dan ketika bangun dari ruku’,
 

Bagaimana sesungguhnya posisi tangan saat takbir?
 Tidak semua kitab-kitab di bagian ini menjelaskan secara detail, karena memang tidak masuk rukun shalat atau bahkan sunnah ab'ad, yang jika ditinggal harus sujud sahwi. Keterangannya sebagian hanya menyebut mengangkat tangan saja saat takbir, sebagai hadist riwayat Ibnu Majah, yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban (Kifayatul Akhyar, h. 85). 

Baru dalam kitab yang lebih detail lagi, misalnya Al-Iqna, dijelaskan posisi tangan yang dicontohkan. Yaitu sesuai hadist Nabi, "Nabi mengangkat tangannya slaras dengan pundak saat permulaan shalat." (HR Bukhari, Muslim). Dalam Sharah Muslim, Imam Nawawi menjelaskan, yang dimaksud selaras dengan pundak (Hadzwi mankibaihi) adalah ujung-ujung jari lurus dengan daun telinga bagian atas, jari jempol dipaskan dengan daun telinga bagian bawah (tempat anting-anting), dan telapak tangan diluruskankan pundak. (Al-Iqna, juz 1, h. 299). 

Atau lebih detail lagi dalam Bidayatul Hidayah dijelaskan, jari-jari diregangkan, tapi jangan terlalu renggang, hindari untuk merapatkannya.Paskan jari jempol dengan telinga bagian bawah, sementara ujung-ujung jari sejajarkan dengan telinga atas, dan telapak tangan lurus dengan pundak. Maka jika sudah berposisi demikian, maka takbirlah (Bidayatul Hidayah, h. 47)
Memang, ada juga yang mengartikan hadist riwayat Bukhari Muslim di atas dengan meluruskan ujung jari-jari tangan dengan pundak. Karena itu, sebagai upaya al-jam'u, menggabungkan beberapa pengertian, maka mengangkat tangan ketika takbir batasnya adalah paling rendah lurus dengan pundak, dan paling tingginya adalah lurus dengan daun telinga. Nah, jika kurang atau melebihi batas ini maka tidak memenuhi batasan mengangkat tangan saat takbir, sehingga tidak mendapat kesunahan.


Hadits riwayat Bukhari (705) dan Muslim (390), dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Saya menyaksikan Nabi saw. membuka sholat dengan takbir, beliau mengangkat dua belah tangan beliau ketika bertakbir, sampai menjadikan dua belah tangan tersebut setinggi dua bahu beliau. Apabila bertakbir untuk ruku’ juga melakukan seperti itu, ketika mengucapkan:  "سمع الله لمن حمده" juga berbuat begitu, sambil mengucapkan: "ربنا ولك الحمد" , dan beliau tidak mengangkat dua belah tangan belaiu ketika sujud dan ketika bangun dari sujud.

Kedua, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, Berdasarkan hadits riwayat Muslim (401), dari Wa-il bin Hijri ra. bahwa dia menyaksikan Nabi saw. mengangkat dua tangan beliau ketika masuk pelaksanaan sholat, lalu beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri beliau.
Posisi Meletakkan Tangan Kanan Di Atas Tangan Kiri.

Dasar posisi ini adalah, sebagaimana telah disebutkan, yaitu hadist yang diriwayatkan dari Wa'il bin Hajar : “Aku melihat ketika Rasululloh saw.telah memulai shalat,tangan kananya memegang tangan kirinya“. (HR Ibnu Mundzir, Ibnu Khuzaiman, dan Abu Daud).

Dalam Nailul Authar, Juz 2, h. 187

وأخرج أبو داود أيضاً عن طاوس أنه قال: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى يَدِهِ اليُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بِهِمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ» وهو مرسل
Abu Daud meriwayatkan dari Thaawus ia berkata “Adalah Rasulullah SAW meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya kemudian menyekal keduanya diatas dadanya, dan beliau dalam keadaan shalat”

Ulama sepakat bahwa meletakkan tangan ini hukumnya sunnah. Hanya lokasi tangan saja yang sedikit berbeda. 
Pertama, madzhab Maliki dan Syafi’i. Disebutkan bahwa posisi tangan adalah di atas pusar dan di bawah dada. (Al-Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah, juz 1, h. 227, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, juz 3,hal. 310).

Khusus untuk Syafi’I telapak tangan agak diserongkan ke kiri.Imam Syafi’i menegaskan bahwa, “Tujuan meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri adalah agar kedua tangan tenang, bila melepasnya tidak terjadi main-main maka tidak bahaya, sedang hikmah diletakkan dibawah dada agar keduanya berada dibawah paling mulianya anggota tubuh manusia yaitu hati karena sesungguhnya ia berada di bawah dada.”

Kedua, madzhab Hanafi dan Hambali. Keduanya menegaskan bahwa posisi telapak tangan di bawah pusar. (Al-Fiqh ‘ala Madzahibil ‘Arba’ah, juz 1, h. 227). Bedanya jika hanafi membedakan khusus untuk perempuan, di mana letak tangan di dada, bukan di bawah pusar.

Ketiga, pendapat yang mengatakan letaknya di dada. Ini dikatakan bersumber dari Ash-shan’ani, Asy-Syaukani, Al-Mubarakfuri, dan Al-Albani. Mereka adalah ulama muta’akhkhirin, dan memang pendapat letak telapak tangan di atas dada tidak ditemukan dalam pendapat ulama-ulama salaf sebagaimana dijelaskan dalam berbagai rujukan.


Ketiga, bertawajjuh (membaca do’a iftitah), Hadits riwayat Muslim (771), dari Ali ra. dari Rasulullah saw., bahwasanya apabila sudah berdiri sholat beliau mengucapkan:   "وجهت وجهي للذى فطر السماوات والأرض حنيفا وما أنا من المشركين, إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي للـه رب العالمين, لا شريك له, وبذلك أمرت, وأنا من المسلمين"
(Saya hadapkan wajhku kehadlirat Tuhan Maha Pencipta langit dan bumi, teguh beragama, dan saya tidak termasuk golongan orang musyrik. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi Allah, oleh karena itu aku diperintah, dan aku termasuk orang yang berserah diri). 

Doa Iftitah di dalam Shalat

Imam Nawawi dalam Doa Iftitah di dalam Shalat

Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar, h. 96-99, menyebutkan doa-doa iftitah yang secara ma’tsurah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Paling tidak jika dikumpulkan lebih dari 13 doa merujuk riwayat-riwayat yang shahih dan ada juga beberapa yang dho’if. Satu doa merupakan penggabungan dari beberapa doa, sedangkan lainnya masih terpisah-pisah. Di sini akan disebut 13 saja.
Pertama, adalah doa iftitah yang disebut berasal dari penggabungan beberapa doa merujuk beberada hadist riwayat Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Nasaai, Sunan Turmuzi, Sunan Daraquthni dan Sunan Darimi, juga diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Hibban, dalam Kitab Sunan Al-Kubra Imam Baihaqqi, dalam Kitab Shahih Ibnu Khuzaimah, dalam Kitab Al-Mu’jamul Kabir Imam Thabarani, dalam Kitab Mustakhraj Abi ‘Awanah, dalam Masnad Imam Syafi’i, Masnad Imam Ahmad bin Hanbal, Masnad Abi Ya’la Al-Mawshuli dan Masnad Thayalisi, dalam Kitab Mashnaf Ibnu Abi Syaibah, dan dalam Kitab Al-Ahad Wal Matsani Ibnu Abi ‘Ashim

للهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا، وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنْ الْمُسْلِمِين
اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِي وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Kedua, doa yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ


Ketiga, riwayat Muslim
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا، وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي، وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ، اللهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي، وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي، وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا، إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Doa ini biasa dibaca Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam shalat fardhu dan shalat sunnah.

Keempat, riwayat Nasa’i
اللَّهِ أَكْبَرُ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ


Kelima, riwayat Nasa’I dan Ad-Daruquthni
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ. اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَعْمَالِ وَأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَقِنِي سَيِّئَ الْأَعْمَالِ وَسَيِّئَ الْأَخْلَاقِ لَا يَقِي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ


Keenam, riwayat .Abu Daud 1/124, An Nasa-i, 1/143, At Tirmidzi 2/9-10, Ad Darimi 1/282, Ibnu Maajah 1/268
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ تَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ


Doa ini juga diriwayatkan dari sahabat lain secara marfu’, yaitu dari ‘Aisyah, Anas bin Malik dan Jabir. Disebutkan riwayat ini dho’if.

Ketujuh, riwayat Abu Daud
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرَكَ

3x  لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
3x  اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا

Kedelapan, riwayat Muslim
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا


Kesembilan, riwayat Muslim
الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ



Kesepuluh, riwayat Bukhari dan Muslim
اللَّهُمَّ لَكَ الحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ لَكَ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ الحَقُّ وَوَعْدُكَ الحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ، وَقَوْلُكَ حَقٌّ، وَالجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالنَّبِيُّونَ حَقٌّ، وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ، اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ المُقَدِّمُ، وَأَنْتَ المُؤَخِّرُ، لاَ إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ


Doa istiftah ini sering dibaca Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam ketika shalat malam. Namun tetap masyru’ juga dibaca pada shalat wajib dan shalat yang lain.

Kesebelas, riwayat Muslim
اللهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ، وَمِيكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ


Doa istiftah ini juga sering dibaca Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam ketika shalat malam. Namun tetap masyru’ juga dibaca pada shalat wajib dan shalat yang lain.

Kedua belas, riwayat Ahmad dan Ath-Thabrani
10x الله اكبر

10x الحمد لله
10x لا اله الا الله
10x استغفر الله
10x اللهُمَّ اغْفِرْ لِي ،وَاهْدِنِي، وَارْزُقْنِي وَعَافِنِي
10x اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الضِّيقِ يَوْمَ الْحِسَابِ

Ketigabelas, riwayat Ath-Thayalisi dan Al-Baihaqi
اللَّهُ أَكْبَرُ [ثلاثاً] ، ذُو الْمَلَكُوتِ، وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ


Dalam penjelasannya, Imam Nawawi menyebutkan, dianjurkan untuk menggabungkan beberapa doa dari riwayat-riwayat ini, terutama bagi yang shalat sendirian. Sementara bagi imam, maka disesuaikan dengan kondisi makmumnya saja, di mana lebih baik jangan berpanjang-panjang.

Jika memilih meringkas, maka dianjurkan pilihlah minimal dengan yang ini:

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا، وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي، وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ, 
.

Keempat, isti’aadzah (membaca ta’awudz), Berdasarkan firman Allah ta’alaa: “Apabila engkau membaca al Qur’an, maka berlindunglah kamu kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk” (an Nahl: 98) 

Ta’awudz dalam Shalat

Makna lughawi maupun istilahi dari lafadz ini sama, yaitu minta perlindungan dari sesuatu yang tidak disukai. Isti’adzah bukan bagian dari ayat Al-Qur’an, tetapi ia dituntut dibaca saat membaca Al-Qur’an, termasuk saat shalat. Sesuai yang disebut dalam An-Nahl ayat 98. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Juz 4, h. 6).

Ulama sendiri, terbagi tiga kelompok dalam menempatkan ta’awudz.

Pertama, Jumhur atau mayoritas ulama menegaskan membaca ta’awudz adalah sebelum membaca Al-Qur’an. Sebab ayat di atas maksudnya adalah “ketika kita hendak membaca Al-Qur’an”.

Kedua, beberapa ulama, di antaranya, Hamzah, Ibnu Sirrin, Ibrahim An-Nakhai, dan disebut juga Malik bin Anas, dan dikatakan dinukil dari Abu Hurairah, bahwa membaca ta’awudz itu setelah membaca Al-Qur’an sesuai dengan dhahir ayat 98 An-Nahl, yang menggunakan kata kerja Fi’il madhi (yang menunjukkan telah membaca).

Ketiga, Imam Ar-Razi menyebutkan bahwa ta’awudz dianjurkan sebelum dan sesudah membaca Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam tafsirnya, tafsir Mafatihul Ghaib. (Tafsir Ibnu Katsir, h. 59).

Dari sini jelas, bahwa membaca Ta'awudz itu sebelum membaca Al-Qur'an atau Al-Fatihah ketika shalat, meskipun jika dibaca setelahnya juga tidak dilarang.

Lafadz ta’awudz ada beberapa bentuk:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ


Atau

أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ


atau

أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ


atau

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ


atau

أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ


Masing-masing ada sumber riwayatnya, tetapi yang paling kuat dan banyak riwayat dengan beberapa sanad adalah yang Pertama, yang biasa kita baca, yaitu "A’udzubillahi minasy syaithanir-rajiim”. Inilah bacaan ta’awudz yang paling banyak diriwayatkan dengan sanad yang shahih, dan dipegang oleh Syafii dan Abu Hanifah, dan mayoritas Ahli Qurra’ (ahli Al-Qur’an) dan selaras juga dengan redaksi dalam An-Nahl ayat 98.

Untuk di dalam shalat sendiri, Abu Hanifah dan Syafi’I menghukumi sunnah. Sedangkan Ahmad bin Hambal (Hambali), mewajibkannya. Sedangkan Malik bin Annas (Maliki) hanya membolehkannya di dalam shalat sunnah, dan memakruhkannya di dalam shalat wajib. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 4, h. 11)

Keras ataukah Pelan dalam Membaca Ta’awudz Ketika Shalat

Ada tiga pendapat. Abu Hanifah memilih membaca pelan, sesuai yang dinukil dari Ibnu Mas’ud. Imam Malik membolehkan dibaca keras. Sedangkan Imam Syafi’I membolehkan memilih antara keras dan pelan. Untuk pelan Imam Syafi’I merujuk pada kebiasaan Ibnu Umar, sedangkan untuk keras merujuk pada apa yang dilakukan Abu Hurairah. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, juz 4, h. 13)

Jadi, dalam prakteknya ketika shalat, ada yang membaca sir atau pelan. Atau dibolehkan juga keras. Tetapi hal ini disesuaikan kebiasaan di masjid tersebut, sehingga tidak menimbulkan kontroversi bagi yang belum memahami penjelasannya. 


Tidak ada komentar: