Home

TAFSIR JALALAIN 1 Jumadil Akhir 1437 H/ 20 Maret 2016

Rangkuman pengajian Ahad pagi Majlis Taklim Tafsir Jalalain Tempat : musholla Al-Muhajirin, Puri Harmoni 1 Tgl          : 11 jumadil ak...

Senin, 04 November 2019

IKTIKAF

Pengajian Online
Majlis Tasfir Jalalain
Oleh: Fathuri Mumtaza

Iktikaf di Indonesia sudah sangat familiar, terutama pada bulan Romadlon di 10 hari terakhir. Hampir semua masjid dan mushalla mengadakannya. Tetapi mungkin dari semua yang melaksanakannya, ada yang belum mamahami sepenuhnya terkait syarat, rukun dan lain sebagainya.

Iktikaf biasa diartikan sebagai diamnya diri dari sesuatu yang biasa dilakukan. Ini makna secara bahasa. Sedangkan secara syara’, iktikaf dimaknai dengan berdiam diri di masjid dengan niat dan cara yang telah ditentukan. (Al-Mughni, juz 2, hal. 183)

Nah, dalam pelaksanaannya iktikaf ini memiliki beberapa hikmah, di antaranya:

1.    Terkondisikannya seseorang agar selalu ibadah kepada Allah dalam setiap geraknya
2.    Dijauhkan dari kesibukan dunia, yang membuatnya lalai dalam beribadah

Di sisi lain, ada juga yang mengatakan bahwa iktikaf ini sebagai upaya mengikuti jejak para malaikat yang senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Apa saja yang dilakukan sebagai ta’abbud kepada Allah.

Dalil iktikaf
Adapun dasar dianjurkannya iktikaf itu banyak, baik dari Al-Qur’an maupun hadist Nabi. Di antaranya adalah ayat suci Al-Qur’an:

وَأنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ

"Sedangkan kamu beri'tikaf dalam masjid." (QS Al Baqarah 2: 187)

Atau beberapa hadist Nabi Muhammad SAW:

مَنِ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ

Artinya, “Siapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, maka beri’tikaflah pada sepuluh malam terakhir,”  (HR Ibnu Hibban).  

يَا رَسُوْلُ اللَّه إِنْ نَذَرْتُ فِيْ جَاهِلِيَّةٍ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِيْ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ : فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ

“Artinya : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernadzar pada zaman jahiliyah (dahulu), (yaitu) aku akan beritikaf pada malam hari di Masjidil Haram’. Beliau menjawab :Tunaikanlah nadzarmu”.
Maka ia (Umar RA) pun beritikaf pada malam harinya.

Karena itu, juhmur ulama kemudian sepakat bahwa hokum iktikaf adalah sunnah di setiap waktu, bahkan di waktu di mana shalat diharamkan. Dan lebih disunnahkan lagi pada 10 hari terakhir di bulan Romadlon, mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah, sekaligus menanti datangnya malam Lailatul qadr. Namun, hukumnya berubah menjadi wajib jika ada orang yang nadzar untuk melakukan iktikaf (Al-Mausu’ah AL-Fiqhiyyah, juz 5, hal 208)

Berapa lama minimal waktu iktikaf?

Paling sedikitnya waktu saat iktikaf ulama memberi batasan yang berbeda, meskipun sebenarnya jika diteliti maksudnya sama.

Misalnya Imam Abu Hanifah menegaskan bahwa minimal waktu iktikaf adalah sesaat saja, atau sejenak, baik saat malam atau siang hari. Bahasa yang digunakan adalah “sa’atan” yang itu diartikan bukan satu jam, tetapi sesaat dalam waktu yang tidak dibatasi.

Artinya menurut madzhab Hanafi, ya sesaat atau sejenak saja orang berdiam diri di masjid sudah dianggap iktikaf.

Hal yang sama disampaikan madzhab Hambali, yaitu paling sedikitnya waktu iktikaf adalah seukuran orang dianggap berdiam diri. Artinya, jika seseorang sekejap saja diam di masjid, itu sudah masuk kategori iktikaf. Namun, ditambahkan, yang dianjurkan adalah minimal sehari semalam iktikaf dilakukan.

Nah, madzhab Maliki lebih memilih bahwa sedikitnya iktikaf adalah sehari semalam di luar ia melakukan hal-hal yang dibolehkan, seperti keluar untuk buang hajat, wudlu dan lain sebagainya.

Sedangkan dari madzhab Syafi’i sendiri lebih jelas menyebutkan, bahwa iktikaf tidak dibatasi waktu sedikitnya. Jika seseorang diam sejenak seukuran lebih sedikit dari thuma’ninah saat ruku’, maka itu sudah dianggap iktikaf. Kalau didetikkan sekira 10 detik seseorang berdiam diri di masjid, maka dia sudah iktikaf.

Artinya dengan berbagai keterangan ini, seseorang bisa iktikaf bolak-balik setiap harinya. Jika masuk masjid untuk jama’ah lalu niat iktikaf, maka sudah mendapat pahala iktikaf. Demikian pula, masuk masjid untuk ta’lim, lalu di hatinya juga niat iktikaf, maka dapatlah ia pahala iktikaf.

Inilah yang dianjurkan ulama, agar memperbanyak niat dalam amal-amal shalih, atau yang diistilahkand engan istikhlafun niyyah, memperbanyak niat dalam satu amalan. Di antaranya dengan niat iktikaf ini.

Wallahu a’lam bish shawaab.

Tempat Iktikaf

Perlu dipahami bahwa anjuran iktikaf bukan hanya berlaku bagi laki-laki, namun juga perempuan, khuntsa (orang yang lahir dengan kelainan alat kelamin), bahkan juga untuk anak-anak yang sudah mumayyiz (menjelang baligh). Karena itu, bicara iktikaf, maka ulama kemudian memerinci penjelasannya.


Tempat iktikaf bagi laki-laki.
Semua ulama sepakat bahwa tempat i’tikaf bagi laki-laki, termasuk khuntsa adalah di masjid. Hal ini sebagaimana dalam ayat yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Nah, masjid apa saja yang dibolehkan? Karena pengertian masjid sesungguhnya luas, termasuk tempat sholat di rumah, yang memang dibuat khusus untuk shalat, juga masuk kategori masjid.

Pertama, yang paling afdhol atau utama adalah tiga masjid agung, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha. Ini adalah tiga paling top masjid untuk iktikaf. Maka, bagi yang umrah maupun haji, jangan lupa untuk niat iktikaf saat memasukinya.

Kedua, ulama sepakat masjid yang boleh untuk i’tikaf adalah masjid jami’, yang diartikan sebagai masjid yang biasa digunakan untuk shalat Jum’at.

Ketiga, mayoritas ulama membolehkan i’tikaf di masjid yang tidak biasa untuk jum’atan, tetapi biasa untuk shalat fardlu lainnya, seperti Dzuhur atau Ashar. 

Keempat, sebagian ulama membolehkan di masjid yang tidak digunakan untuk jama’ah shalat. Yang berpendapat ini adalah Maliki dan Syafi’i. intinya, menurut keduanya, masjid mana saja boleh digunakan untuk i’tikaf. Di sini termasuk mushalla, surau, atau langgar yang kita kenal. (Al-Majmu’, juz 6, hal. 486)

Tempat i’tikaf bagi perempuan
Mayoritas ulama menegaskan bahwa tempat i’tikaf bagi perempuan juga sama dengan laki-laki, yaitu di masjid mana saja dibolehkan. Namun, tidak dibolehkan i’tikaf di tempat shalat yang ada di rumahnya, meskipun dari sisi kebahasaan disebut juga sebagai masjid.

Hal ini didasarkan pada pendapat Ibnu Abbas yang menolak perempuan untuk i’tikaf di masjid rumahnya. Karena, kalau dibolehkan tentu istri-istri Nabi dulu juga melakukannya.

Meski demikian, dalam qaul qadim-nya Imam Syafi’I, bahwa bagi perempuan dibolehkan untuk i’tikaf di tempat shalat di rumahnya sendiri. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Abu Hanifah, bahwa bagi perempuan justru i’tikafnya adalah di tempat shalat di rumahnya. Sebaliknya, kalau di masjid justru makruh tanzih hukumnya. Di masjid rumahnya malah lebih utama disbanding di masjid. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, juz 5, hal. 212)

Dari penjelasan ini, maka tetap saja yang disepakati jumhur ulama untuk perempuan adalah i’tikaf di masjid.  Oleh karena itu, manfaatkan sebesar-besarnya masjid/mushalla di dekat kita masing-masing, terutama untuk membiasaan i'tikaf.

Wallahu a’lam bish shawaab.

Hal-hal yang merusak Iktikaf

Iktikaf pada dasarnya adalah ibadah sunnah. Namun posisinya akan berubah jika dinadzarkan, maka ia menjadi wajib. Tidak boleh ditinggalkan. Misalnya ada yang nadzar, jika saya diterima PNS, maka saya akan I’tikaf 2 malam berturut-turut, maka itu harus dilakukan.

Nah, bagi yang I’tikaf wajib maupun sunnah, perlu memahami apa-apa yang merusak atau membatalkan I’tikaf, agar tahu status I’tikaf yang dilakukannya.

Pertama, keluar dari masjid.
Ahli fiqh semua sepakat bahwa keluar masjid dari masjid tanpa ada kebutuhan atau kepentingan, maka otomatis membatalkan I’tikafnya. Namun, untuk yang keluar karena kebutuhan pun perlu dirinci, mana yang tidak membatalkan, atau sebaliknya, yang membatalkan. (Al-Majmu’, juz 6, hal. 527)

Keluar yang bagaimana yang membatalkan i'tikaf?
Yaitu ketika keluar dengan seluruh tubuhnya. Jika hanya keluar tangannya atau kakinya, maka dianggap tidak membatalkan

a.    Keluar untuk buang hajat, wudlu dan mandi wajib
Jika keluar untuk ketiga kebutuhan ini, maka tidak membatalkan. Namun jika setelah wudlu, misalnya, tidak bersegera masuk masjid, namun diam atau mengobrol lama, maka bisa membatalkan I’tikafnya.

b.    Keluar untuk makan atau minum
Jika orang yang I’tikaf tidak ada yang bisa mengirimkan makanan atau minuman ke masjid, maka keluarnya untuk makan dan minum, tidak membatalkan I’tikafnya. Sedangkan jika ada yang rutin mengirimkan makan dan minum, dianggap membatalkan bila ia keluar.

c.    Keluar untuk mandi sunnah Jum’at atau Idul Fitri
Menurut madzhab Syafi’I dan Hambali bahwa jika ada yang I’tikaf lalu keluar untuk mandi sunnah Jum’at atau Idil Fitri, maka membatalkan I’tikafnya. Sebab hokum mandi-mandi tersebut adalah sunnah, bukan wajib.

d.    Keluar untuk shalat Jum’at
Jika ada yang I’tikaf di masjid, namun masjid itu tidak digunakan untuk jum’atan. Kebetulan hari itu adalah hari Jum’at, maka keluarnya untuk shalat jum’at di masjid yang lain tidak membatalkan I’tikafnya. Dikarenakan shalat Jum’at sendiri adalah wajib hukumnya. Namun, dianjurkan agar segera kembali ke tempat I’tikaf setelah selesai shalat Jum’at.

e.    Keluar untuk menjenguk sakit atau ikut shalat jenazah
Ulama sepakat bahwa keluar untuk kedua kebutuhan ini tidak diperkenankan saat I’tikaf. Kalau dilakukan dianggap membatalkan I’tikafnya.

f.    Keluar tapi lupa akan membatalkan I’tikafnya.
Jika ada orang I’tikaf lalu keluar, namun lupa bahwa hal itu membatalkan, maka hal itu dipandang tidak membatalkan I’tikafnya.

g.    Keluar untuk bersaksi
Jika ada kewajiban bersaksi, maka keluarnya orang yang I’tikaf untuk melakukan hal tersebut, hukumnya tidak membatalkan I’tikafnya. Malah dianggap berdosa jika tidak keluar.

h.    Keluar karena sakit
Untuk keluar karena sakit, perlu dibedakan dua hal. Satu, sakit yang ringan. Bila keadaannya demikian, maka tidak diizinkan untuk keluar masjid. Jika keluar, maka dianggap batal. Sakitnya yang ringan misalnya demam yang ringan.

Kedua, sakit yang berat. Menurut sebagian ulama, maka diperbolehkan untuk keluar dan tidak membatalkan I’tikafnya.

i.    Keluar karena masjid mengalami kerusakan
Bila saat I’tikaf, lalu terjadi bencana. Misalnya masjid ambruk, maka dibolehkan untuk keluar dan pindah ke masjid lain untuk melanjutkan I’tikafnya. (Al-Majmu’, juz 6, hal. 522-523)

j.    Keluar karena dipaksa
Ulama sepakat bahwa orang yang I’tikaf. Lalu dipaksa keluar dari masjid, maka I’tikafnya dianggap tidak batal. Namun, hal ini berlaku jika pindah ke masjid lainnya dalam waktu yang berdekatan. namun, jika ada jeda yang cukup lama, maka I’tikafnya dianggap batal. (Mughni Al-Muhtaj, juz 1, hal. 458)

Kedua, jima’ dan teman-temannya

Ulama sepakat bahwa jima’ tatkala sedang I’tikaf itu haram dan membatalkan I’tikafnya, baik dilakukan pada saat malam atau siang, meski lupa. Hal ini didasarkan pada Al-Baqarah ayat 187, “Dan janganlah kalian menyentuh mereka (istri-istri), sedangkan kalian sedang I’tikaf di masjid.”


Batal karena jima’ ini dengan syarat bahwa ia memang tahu alias sudah faham akan larangan jima’ saat I’tikaf.

Jima’ di samping membatalkan I’tikaf, sebagian ulama bahkan menetapkan adanya kafarat bagi yang melakukan jima’ saat I’tikaf. Kafaratnya sama dengan kafarat melakukan jima’ pada siang hari bulan Romadlon. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, juz 5, hal. 219)

Selain jima’, hal-hal lain yang terkait dengan jima’ juga bisa merusak. Misalnya mencium, memeluk istri, apalagi sampai mengeluarkan sperma. Hal ini ditegaskan oleh madzhab Hanafi, Hambali dan Syafi’i. nah, sedikit keringanan disampaikan Syafi’I, kalau tidak sampai mengeluarkan sperma, mencium atau memeluk, misalnya, tidak membatalkan I’tikaf.


NB: Perlu dijelaskan di sini satu hal yang harus dipahami oleh semua, yaitu tentang keharaman jima’ di dalam masjid secara muthlak


Ketiga, gila juga merusak Iktikaf. Ketika seseorang menjadi gila, maka I’tikaf yang dilakukan menjadi batal.



Keempat, murtad.
Ulama sepakat bahwa murtad merusak I’tikaf. Siapa yang murtad, maka I’tikafnya otomatis batal.

Nah, di sini ulama berbeda pendapat, apakah ketika si murtad masuk Islam lagi, maka diwajibkan untuk memulai lagi I’tikafnya? Melanjutkan yang lalu?

Maka, madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, tidak mengharuskan. Sedangkan Syafi’I mewajibkan. (Faidhul Qadir, juz 3, hal. 179)


Kelima, mabuk.
Mabuk juga otomatis membatalkan I’tikaf. Hal ini jika memang orang itu sengaja minum khamr yang memabukkan. Artinya, melakukan tindakan haram hingga kemudian mabuk.

Keeenam, haidh dan nifas

Ini berlaku bagi perempuan, bahwa ketika mereka I’tikaf lalu haidh atau nifas (melahirkan), maka I’tikafnya secara otomatis batal. Sebab wajib yang mengalami keduanya, untuk tidak berada di masjid. Haram untuk berdiam di masjid.

Berbeda jika darahnya adalah darah istihadhah, maka seorang perempuan tetap diperbolehkan untuk tetap berada di masjid untuk I’tikaf, asalkan bisa terjaga dari tercecernya darah yang keluar.

Demikian, wallahu a'lam bish shawaab

Tidak ada komentar: